Rabu, 11 Maret 2009

പരടിഗ്മ വ TERBALIK

Paradigma Pembangunan “V” Terbalik
Riant Nugroho Dwidjowijoto
*
I.
Prakata
Pemerintah hari ini cenderung mempergunakan pendekatan politik untuk menyelesaikan
masalah. Paling jauh, mempergunakan pendekatan ekonomi. Menurut saya, pendekatan ini tidak memadai lagi. Antara politik dan ekonomi, memiliki satu kesamaan. Keduanya adalah alat ukur yang relatif bersifat subyektif, yakni tergantung kepada siapa yang mempergunakan pendekatan tersebut. Dalam hemat saya, pendekatan yang lebih tepat dipergunakan dalam menyusun konsep pembangunan Indonesia baru adalah pendekatan manajemen.
Manajemen di sini bermakna lebih luas daripada sekedar manajemen perusahaan atau
pemerintahan. Manajemen adalah sebuah paradigma; sebuah filosofi hidup. Manajemen adalah bagaimana kita menata kehidupan yang lebih baik, tertata, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pendekatan manajemen menuntut apa yang sekarang populer dengan istilah good governance,
atau pengelolaan yang baik. Pendekatan manajemen, meski tidak bisa melepaskan secara total
dari subyektivitas, namun relatif lebih obyektif dibanding pendekatan-pendekatan lain. Karena
manajemen selalu melihat dari aset yang ada, dan mencari solusi untuk mengoptimalkan aset
yang ada agar memberikan hasil yang maksimal. Pendekatan baru ini pada akhirnya akan
memberikan kontribusi kepada pergeseran dari prinsip-prinsip organisasi publik di Indonesia.
Bagi negara berkembang melakukan pembangunan –apalagi dalam era globalisasi--
bukan pekerjaan yang mudah. Tambah lagi tatkala pembangunan bukan lagi sekadar strategi,
melainkan telah menjadi ideologi bagi setiap negara baru –negara-negara yang rata-rata merdeka setelah Perang Dunia Kedua usai. Kemajuan dan kemakmuran negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Utara membuat “air liur” negara-negara berkembang mengalir keluar, dan membuat semangat mengejar ketertinggalan tidak lagi menjadi semangat, melainkan menjadi obsesi.
Pembangunan menjadi ideologi, agama, bahkan kemudian menjadi mitos.
Sebuah keyakinan bahwa pembangunan pada akhirnya membuat negara-negara terbelakang mampu mengejar ketertinggalannya, dan menjadi setara dengan negara yang maju. Padahal, sebagian besar perjalanan pembangunan negara-negara tersebut berujung kepada dead-end
;akhir yang mematikan alias gang buntu.
II.
Paradigma Pembangunan
*
Riant Nugroho adalah Chairman RBI Research, konsultan manajemen untuk sektor privat dan publik. Beberapa buku yang
pernah ditulisnya adalah Manajemen Dalam Era Globalisasi (1996), Indonesia 2020 (1997), Indonesia State Owned
Enterprises: Professionalism to Go Global (1997), Otonomi Daerah: Desentralisasi Tanpa Revolusi (2000), dan Can He
Managed? Perception and Criticism on Abdurrahman Wahid (2001)-red.
1
Sastrapreja, dkk dengan baik menyunting tulisan tentang bagaimana pembangunan akhirnya menjadi mitos bagi negara-
negara penganutnya dalam Menguak Mitos-Mitos Pembangunan: Telaah Etis dan Kritis, Jakarta : Gramedia, 1986.
2
John Ibister, Promises not Kept: The Betrayal of Social Change in the Third World, khususnya Bab 3, Explanations of
Underdevelopments, Connecticut: Kumarian Press, 1993, h. 33-65.
Page 2
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 2
Paradigma-paradigma pembangunan yang disusun oleh para teoritisi dan perencanaan
pembangunan tidak bisa dipungkiri lebih berputar kepada pendekatan teoritis dan keilmuan
daripada sebuah kajian konseptual yang lebih mengacu kepada praktek. Pendekatan
pembangunan mulai yang diwarnai oleh pendekatan ekonomi --sejak dedengkot pemikir klasik
seperti Adam Smith yang mengajarkan tentang pasar dengan “invisible hand”nya, David Ricardo dengan perdagangan bebas antar negara dengan keunggulan komparatif, disusul Karl Marx dengan “ekonomi terpimpin”nya, hingga John Maynard Keyness yang mengusulkan perpaduan antara kebebasan dan pengaturan oleh pemerintah, atau yang lebih kotemporer seperti teoriTarikan Besar (Big Push) hingga Pertumbuhan Seimbang (Balanced Growth)
3
— maupun pendekatan politik –kulturalis, yakni yang percaya bahwa kemajuan bisa diperoleh dengan injeksi nilai-nilai maju (biasanya mengacu kepada nilai di negara maju sendiri) ataupun yang strukturalis, yakni yang percaya bahwa hanya perubahan secara struktural yang bisa membuat negara berkembang menjadi maju karena yang terjadi adalah struktur yang tidak benar, bukan nilai yang tidak benar
4
-- pada amatan saya pada akhirnya merupakan akumulasi pendekatan yang
saling melengkapi, dan tidak perlu saling dipertentangkan. Akan tetapi, pendekatan-pendekatan tersebut di dalam pengembangannya dalam kebijakan pembangunan cenderung bersifat sektarian, atau sangat menonjolkan salah satu dan mengabaikan yang lain. Pendekatan ini sangat khas ilmuwan. Seorang ilmuwan selalu memiliki kecongkaan untuk menerapkan pendekatan yang dikuasainya meski tidak bersifat komprehensif untuk mendapatkan pengakuan bahwa pemikiran tersebut memang unggul. Pendekatan ini cukup berbeda dengan pendekatan manajemen yang lebih bersifat memadukan seluruh pendekatan yang ada, menyusun dalam tatanan praktek dengan berusaha membuatnya tidak tumpah tindih. Pendekatan ini khas praktisi yang pembelajar –seorang yang hanya praktisi tapi tanpa pembelajaran bukan “manajer” melainkan “dukun”.
Pendekatan manajemen dalam amatan saya lebih mampu mendekati permasalahan dan
menemukan solusi yang bersifat win-win –pendekatan ekonomi dan politik biasanya lebih
bersifat “zero sum game
5
”. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh empu manajemen, Peter F Drucker, bahwa only management and management alone that can create values and therefore economicprosperity.
6
Alasannya dapat difahami dalam rincian sebagai berikut:
Seperti dikemukakan sebelumnya, masyarakat modern adalah masyarakat yang telah
berubah dari masyarakat paguyuban menjadi masyarakat organisasi. Melalui organisasi
masyarakat mengembangkan kompetensi dan keunggulannya untuk bersaing dengan organisasi lain di dalam negara dan antar negara, dan pada akhirnya kompetisi antar negara bukan terjadi antar negara itu sendiri, melainkan antar organisasi di dalam negara, yaitu organisasi publik, organisasi bisnis, dan organisasi nir-laba. Meski pada akhirnya, dengan menguatnya kompetisi bisnis di dalam kompetisi global mendorong organisasi bisnis sebagai ujung tombak persaingan
3
Kajian yang komprehensif adalah Moelyarto T., Politik Pembangunan: Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi,
Yogjakarta: Tiara Wacana, 1995 (cetakan ketiga), dan Sritua Arief, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, Jakarta: Cides,
1998.
4
Lihat Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: Gramedia, 1996.
5
Lihat Lester C. Thurow, Zero Sum Solution, New York: Touchstone, 1985. Thurow menunjukkan bahwa keunggulan bangsa
Amerika karena bangsa ini memilih “Zero Sum Solution”. Dalam permainan harus ada yang menang dan ada yang kalah.
Yang penting profesional dan fair. Tetapi, itu standar dan kompetensi dari Amerika yang dipaksakan untuk seluruh dunia,
termasuk negara berkembang. Lihat bab 3: “Tantangan Global: The Pentagon Trap”.
6
Pernyataan yang demikian puitis ini keluar dalam diskusi yang diselenggarakan oleh para CEO BUMN pada pertengahan
bulan Juli 1999 di New York bersama Peter F Drucker. Pernyataan ini dikutip antara lain oleh Sandiwan Suharto, dkk, dalam
Dari Meja Tanri Abeng, Managing atau Chaos: Tantangan Globalisasi dan Ketidakpastian, Jakarta: Sinar Harapan, 2000,
h.94.
Page 3
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 3
global. Hanya manajemen yang memampukan organisasi membentuk dirinya sebagai
“organisasi” (bukan hanya sekedar “gerombolan orang-orang”) dan kemudian mengkreasikan
nilai yang memberikan manfaat kepada masyarakat.
Pendekatan manajemen dimulai dengan menyusun Visi, disusul Misi, Strategi, dan Aksi
pembangunan. Visi adalah arah ke mana kita hendak pergi. Visi pembangunan Indonesia adalah sebuah negara yang berisi rakyat yang makmur, mandiri, berdasarkan Pancasila dan UUD 45 –artinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, dan Keadilan. Misi, adalah alasan keberadaan kita sebagai bangsa, atau raison d’être. Misi pembangunan Indonesia adalah sebagai sebuah negara-bangsa yang merdeka, bersatu, dan berdaulat, di dalam kerangka kehidupan bersama umat manusia di dunia. Visi dan Misi pembangunan Indonesia harus sama bagi setiap organisasi dan masyarakat, namun aspirasinya dapat berlainan sesuai dengan tempat dan kondisi masing-masing.
Strategi adalah “cara” untuk mencapai tujuan. Pada era Orde Baru strategi pembangunan
bertumpu kepada pengejaran efisiensi daripada partisipasi. Seperti dicatat oleh Mochtar Mas’ud
7
saat itu perencanaan pembangunan –atau pemerintah—dihadapkan kepada dua pilihan strategi
pembangunan yang dilematis: prioritas produktivitas atau prioritas demokrasi. Kedua bersifat
“zero sum game”, artinya jika yang satu dipilih yang satunya harus dipinggirkan. Pemerintah
memilih produktivitas dengan keyakinan demokrasi akan tercapai dengan sendirinya tatkala
produktivitas menghasilkan tingkat kemakmuran tertentu bagi rakyat –seperti Jepang, Korea
Selatan dan Singapura. Namun, strategi tersebut terbukti gagal total. Pembangunan yang
menekan partisipasi dan demokrasi bukan hanya menyebabkan implosi (ledakan ke dalam)
namun juga eksplosi (ledakan keluar). Akibat riilnya adalah krisis yang berlangsung sejak 1997 yang disusul dengan jatuhnya rejim Orde Baru.
Namun, bukan berarti dengan demikian yang tersedia adalah pilihan demokrasi atau
partisipasi. Karena produktivitas tetap nomor satu, semenjak produktivitas adalah modal dasar
pertumbuhan; semenjak kredo dunia hari ini adalah the only sign of life is growth, and the only
sign of growth is speed –kalau anda tidak mau hidup ya jangan tumbuh, dan kalau mau tumbuh harus cepat; semenjak globalisasi mendesakkan fakta bahwa there is only two thing left in the world: the quick and the dead –jika ingin hidup kita harus serba-cepat. Namun, partisipasi adalah harga yang sulit untuk ditawar, karena itu bagaimanapun harus diambil. Karena itu strategi pembangunan yang paling akomodatif adalah pemberdayaan. Istilah ini sebenarnya lebih tepat diasal-katakan dengan “energizing” bukannya “empowering”, karena yang dikedepankan adalah memberi daya dan bukan berbagi kekuasaan, sebab kekuasaan itu sendiri akan melekat di setiap mereka yang memiliki daya atau energi.
III.
Pemberdayaan Organisasi
Pemberdayaan dilakukan di tiga organisasi dalam negara, yaitu organisasi publik,
organisasi bisnis, dan organisasi nirlaba. Klarifiksinya dimulai dari sejauh mana organisasi-
organisasi tersebut telah dikelola dengan baik sehingga memberikan nilai bagi kustomernya.
Untuk itu perlu dikaji sejauh mana organisasi publik sudah melakukan pelayanan publik secara
7
Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999 (cetakan ketiga) khususnya Bab 1. Agenda Kerja
Politik Pembangunan, dan Bab 2. Ekonomi-Politik Pemberdayaan Rakyat.
Page 4
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 4
efisien
8
; sejauh mana organisasi bisnis kita memberikan produk barang dan jasa yang efisien; dan
sejauh mana organisasi nirlaba memberikan kontribusinya secara efisien. Dalam amatan saya
kinerja organisasi-organisasi publik, bisnis, dan nirlaba kita masih rendah. Organisasi
pemerintahan kita cenderung untuk memberikan pelayanan yang mahal kepada publik dengan
fakta berupa menjamurnya praktek kolusi-korupsi-nepotisme yang membuktikan bahwa publik
tidak mampu mengakses pelayanan dengan cara normal
9
. Organisasi bisnis yang terdiri dari tiga
kelompok –BUMN, Swasta, Koperasi—juga belum nampak dikelola dengan baik. Return on
investment BUMN kita secara rata-rata diperkirakan masih di bawah 5% (pada tahun 1990-1996
hanya tercatat 2,75% saja, meski ada peningkatan kinerja di bawah Meneg BUMN tahun
1998/1999 namun karena krisis maka sejumlah BUMN justru terpuruk, khusus perbankan,
konstruksi, penerbangan, dan kelistrikan), padahal badan-badan usaha yang sehat memiliki ROA
sebesar 20%. Swasta nasional kita, khususnya konglomerat, ibarat masih berada di Ruang Gawat
Darurat, dengan menyisakan beban pinjaman yang sulit terbayarkan senilai US $ 70 milyar plus
kredit macet yang berada dalam perbankan nasional yang sedang direkapitalisasi dengan nilai
lebih dari Rp 600 trilyun. Koperasi karena sekian lama diterbelakangkan akhirnya hanya menjadi
pelaku usaha berskala kecil yang sulit dikedepankan sebagai aktor dalam persaingan global,
belum lagi faktor koperasi juga kurang dikelola dengan baik karena sebagian besar sumberdaya
berkualitas memilih untuk masuk ke perusahaan swasta dan BUMN daripada ke koperasi. Dalam
hal organisasi nirlaba yang terjadi adalah sebagian besar dari organisasi ini justru cenderung
berlaku sebagai “lawan” organisasi publik dan organisasi bisnis. Khususnya nirlaba di sektor
sosial-politik. Agenda kerja mereka lebih menampakkan kegiatan untuk mentorpedo kebijakan
publik dan bisnis. Keberadaannya organisasi nirlaba justru mempersulit pembangunan secara
umum.
Jadi masalah krusial di dalam ketiga organisasi kita tersebut sama persis: undermanage.
Undermanage dalam organisasi berakibat dalam negara. Seperti istilah di Amerika Latin yang
dikutip oleh Drucker, there is no underdeveloped country, there is only undermanaged country
10
.
Kenapa bisa undermanaged? Karena tidak diberdayakan. Organisasi publik selama republik ini
berdiri diposisikan untuk melayani kekuasaan daripada kustomernya, yakni rakyat. Demikian
juga organisasi bisnis. Sebagian organisasi nirlaba melayani kekuasaan, dan sebagian lagi
melayani kepentingan non-Indonesia. Strategi pembangunan pemberdayaan adalah meletakkan
organisasi publik sesuai tugas-pokok-dan-fungsinya, dan demikian pula dengan kedua organisasi
yang lain. Jadi, “binatang politik di kandang politik”, “binatang ekonomi di kandang ekonomi”,
dan “binatang sosial di kandang sosial”. Strategi ini pernah dicoba dalam restrukturisasi BUMN
periode 1998-1999, di mana terjadi lonjakan kinerja yang luar biasa dari sisi manusia, organisasi,
kepemimpinan, bahkan finansialnya –dari 1997 ke 1998 terdapat lonjakan pendapatan sebesar
155,2%, laba usaha 207%, dan laba setelah pajak 194,1%.
11
Strategi yang bersifat makro tersebut dijabarkan dalam strategi mikro yang bersifat aksi,
seperti yang dikemukakan di atas, yakni setiap organisasi harus menjalani proses “reinventing”
atau penemuan diri, dengan melalui tiga penahapan. Pertama, reorientasi, menemukan di mana
8
Efisien tidak hanya berlaku untuk kecepatan waktu, namun juga menjangkau kualitas, kuantitas, biaya, keterjangkauan, dan
pelayanan purna yang diberikannya.
9
Riant Nugroho Dwidjowijoto, Organisasi Publik Masa Depan, Jakarta: Perpod, 2000.
10
Management: Task, Responsibilities, Practices, New York: Harper & Row, 1974. Sayang pepatah ini tidak muncul lagi
dalam buku edisi revisinya (1995).
11
Kantor Menteri Negara BUMN, 1999.
Page 5
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 5
kondisi saat ini, apa yang masih tersisa, dan hendak ke mana tujuan organisasi. Kedua,
restrukturisasi, menata ulang seluruh rancang bangun organisasi dan nilai agar sesuai dengan
tujuan yang hendak dicapai serta kondisi riil dan potensial yang dimiliki. Ketiga, aliansi, yakni
menyetarakan dan menyamakan langkah antar organisasi, baik di dalam sektornya maupun lintas
sektor. Meski harus pula disadari bahwa strategi bukanlah satu-satunya jawaban untuk
membangun kinerja, seperti yang ditunjukkan oleh McKinsey dalam kerangka kerja 7-S pada
Gambar 1
12
.
12
Thomas J. Peters and Robert H. Waterman Jr., In Search of Excellence: Lessons from America’s Best-Run Companies, New
York: Harper & Row, 1982, h. 10.
Page 6
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 6
Gambar 1
Kerangka “7-s” MacKinsey
Jadi, tantangan ke depan menjadi semakin rumit, karena setelah memiliki strategi yang
handal, kita memerlukan struktur yang memungkinkan strategi itu diimplementasikan, sistem
yang akomodatif, gaya kepemimpinan yang pas, ketrampilan yang memadai, sumberdaya
manusia yang berkualitas, plus –yang terpenting—kesamaan nilai. Namun bukan berarti tidak
mungkin diatasi. Ketujuh unsur tersebut perlu direduksi untuk meningkatkan fokus kerja menjadi
tiga, yaitu manusia, organisasi, dan sistim nilai. Guna mencapai keunggulan negara-bangsa
melalui pembangunan berstrategi pemberdayaan, maka diperlukan, pertama manusia Indonesia
dengan daya saing global –kompetensi, konsep, network
13
, kedua, organisasi Indonesia dengan
daya saing global –publik (tingkat pusat/nasional hingga desa/kalurahan), bisnis (BUMN,
Swasta, Koperasi), nirlaba (politik, sosial), dan ketiga, sistem nilai Indonesia dengan daya saing
global yang tidak saja mengadopsi dari mancanegara namun juga yang menjadi bagian dari nilai
dasar bangsa –Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ikka.
13
Konsep ini dipopulerkan oleh Rosabeth Moss Kanter sebagai CCC, yakni competence, concept, and connectedness. Lihat
Rosabeth Moss Kanter, The World Class: Thriving Locally into Globally, New York: Free Press, 1996.
Shared
Values
System
Structure
Strategy
Skill
Style
Staff
Page 7
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 7
IV.
Paradigma “V” Terbalik
Dari sini kita memasuki tahap praktikal penyelenggaraaan pembangunan negara
berbasiskan pendekatan manajemen. Penyelenggaraan pertama adalah menata pembangunan
sebagai sebuah sekuensi yang konsisten dan berkesinambungan dari (1) perencanaan; (2)
pengorganisasian; (3) pelaksanaan; (4) kepemimpinan; dan (5) evaluasi.
Untuk menyelengarakannya diperlukan konsistensi. Faktor konsistensi ini mutlak diperlukan
untuk menjaga agar rancangan yang sudah tepat tidak mengalami bias dalam praktek. Konsistensi
perlu diimbangi dengan disiplin untuk berinovasi. Pembangunan pemberdayaan memberi peluang
kepada setiap pelaku pembangunan untuk melakukan modifikasi aksi pembangunan sesuai
dengan kondisi dan tantangan setempat. Inovasi
14
menjadi sangat penting karena merupakan satu-
satunya cara agar perencanaan yang sangat strategis tersebut dapat memberikan hasil optimal
tanpa melakukan perombakan besar-besaran. Di dalam skenario yang lebih besar maka proses
pembangunan Indonesia dapat diskemakan dalam Gambar 2.
14
Inovasi bukan kreativitas. Inovasi didorong oleh keunggulan pengetahuan, kekayaan wawasan, dan kekuatan praktikal.
Kreativitas lebih condong ke arah “ trial and error”.
Page 8
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 8
Gambar 2.
Skenario Membangun Global Competitiveness Skema “V” Terbalik
Perjalanan pembangunan bangsa seperti sebuah perjalanan sekawanan angsa di angkasa
biru. Mereka tidak membetuk jajaran, namun membentuk formasi huruf “V” terbalik untuk
menjadikan posisi aerodinamisnya menjadi optimal. Posisi paling ujung adalah kepemimpinan
negara-bangsa, karena ia akan menentukan visi dan misi sebagai negara bangsa. Di jalan kedua adalah organisasi negara bangsa dan masyarakat negara bangsa. Organisasi negara bangsa merupakan bentuk keunggulan global dari setiap organisasi negara-bangsa, baik publik, bisnis, maupun nirlaba. Masyarakat negara bangsa mengacu kepada sejauh mana perkembangan kemajuan peradaban negara bangsa. Dalam bahasa politik kondisi ini disebut sebagai kondisi civil society, masyarakat madani, atau masyarakat mandiri. Di jajaran ketiga terdiri dari sistim nilai yang mendukung, yaitu nilai pro-kemajuan, disiplin inovasi, dan penguasaan akan ilmu pengetahuan dan managerial competence, dan sumberdaya negara bangsa yang terdiri dari sumberdaya natural dan non-natural sebagai sumberdaya riil dan fisikal untuk membangun.
Dalam skema ini nampak bahwa keunggulan pertama-tama merupakan tugas dari
kepemimpinan negara bangsa. Tantangan pertama-tama mengarah kepada Presiden, Wakil
Presiden, Ketua MPR, dan Ketua DPR. Sejauh mana keempat komponen tersebut mampu
membangun sinergi –meski porsi tugas utama berada di pundak Presiden. Saya hendak sedikit
mengembangkan diskusi di sini.
Secara khusus, dikatakan di atas, tantangan kepemimpinan terletak di pundak pemimpin
nasional, yang dalam konteks Indonesia adalah presiden. Ia secara faktural, stuktural, dan kultural berada dalam posisi sebagai “pemimpin”. Pemimpin, seperti konstanta guru kepemimpinan
Warren Bennis berbeda dengan “orang biasa”. Katanya, “They work out there on the frontier
where tomorrow is taking shape, and they serve here as guides –guides to things as they are and as they will be, or scouts reporting back with word from the front…”
15
Kepemimpinan, kata Bennis, sangatlah penting karena tiga hal. Pertama karena ialah yang
paling bertanggung jawab atas efektivitas organisasi. Kedua, sebagai jangkar dari organisasi.
15
Warren Bennis, On Becoming A Leader, Ontario: Addison-Wesley, 1994, h.5.
Nilai
Negara-Bangsa
Sumberdaya
Negara-Bangsa
Kepemimpinan
Negara Bangsa
Organisasi
Negara-Bangsa
Masyarakat
Negara-Bangsa
Page 9
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 9
Dan, ketiga pemimpin adalah bentuk paling nyata dari integritas organisasi.
16
Lebih jauh, tugas
utama seorang pemimpin ada dua. Pertama, bukan mengembangkan (develop) organisasi, namun
mengkreasikan nilai (value creation) bagi organisasi tersebut. Seorang pemimpin yang hanya
megembangkan value creation tersebut. Oakley dan Krug melukiskan dengan baik proses
tersebut dalam Gambar 3
17
.
16
Ibid, h.15
17
Ed Oakley and Doug Krug, Enlightened Leadership: Getting to the Heart of Change, New York: Simon & Schuster, 1991,
h. 35, 38, 39.
Page 10
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 10
Gambar 3.
Mempertahankan Keunggulan Menurut Oakley-Krug
Dari ketiga gambar tersebut nampak bahwa kepemimpinan yang unggul selalu
menciptakan “renewal factor”
18
yang menjadikan organisasi terus bertahan hidup dan
berkembang mengkreasikan nilai bagi masyarakat.
Hal lain, di Indonesia ada hal yang bersifat khas, bahwa kepemimpinan hari ini
mengarahkan perubahan dengan mengandalkan kepada pola perubahan yang “bottom-up” dengan
konsep “pemberdayaan”. Pembangunan diasumsikan sebagai gerakan yang berawal dan
diserahkan kepada rakyat –dan akhirnya kurang memberikan kewajiban kepada kepemimpinan.
Memang, perubahan yang hanya dari atas akan menghasilkan pretasi yang “bantat”, alias
“setengah matang”, para medioker di tingkat manusia dan organisasi yang “semi organisasi”
(atau setengah paguyuban dan setengah organisasi) di tingkat kelembagaan.Studi dari Binney dan
Williams menunjukkan bahwa organisasi yang berhasil melakukan perubahan adalah organisasi
yang melakukannya dengan memadukan pola “top-down” dengan “bottom up”. Jadi, di satu sisi
18
Istilah “Renewal Factor”dipopulerkan oleh Robert Waterman, Renewal Factor, New York: Free Press, 1994.
Page 11
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 11
berlangsung “leading change” (“top down”)atau kepemimpinan dalam perubahan dan di sisi lain
berjalan “learning” (“bottom-up”) atau pembelajaran.
19
Tantangan kedua adalah sejauh mana kepemimpinan membedayakan seluruh komponen
dibelakangnya, baik di jajaran pertama maupun kedua sehingga dapat membangun sebuah jajaran
yang optimal menghadapi tantangan. Di sinilah kata kunci “pemberdayaan” dalam konteks
pendelegasiaan kekuasaan (power) berlaku. Bagaimana pucuk jajaran (kepemimpinan) membagi
kewenangannya dengan jajaran di belakangnya sesuai dengan tugas-pokok-fungsi masing-
masing.
Pembagian kewenangan atau kekuasaan ini mengacu kepada dua hal sekaligus:
meningkatkan kinerja karena setiap bagian mengkontribusikan kompetensinya secara
proporsional di satu sisi, dan di sisi lain terjadi penurunan korupsi yang signifikan. Sebab dalil
dari Lord Acton tidak sempurna. Filsuf politik Inggris ini mengatakan bahwa power tend to
corrupt-absolute power corrupt absolutely. Kekuasaan cenderung korup-kekuasaan yang absolut
korupnya absolut pula. Sebaliknya, less-power tend to corrupt-less of power absolutely corrupt
absolutely. Kurang kekuasaan akan menghadirkan korupsi, dan kurangnya kekuasaan secara
absolut menghasilkan korupsi yang absolut pula. Seorang pegawai negeri yang menunggu tugas
dari pimpinannya akan cenderung mengkorupsi segala sesuatu di sekelilingnya. Semakin ia tidak
punya kekuasaan apa-apa, maka ia akan menciptakan “aturan-aturan baru” yang diterapkan
kepada kustomernya. Itulah sebabnya menghadapi birokrasi sipil sangat meletihkan –mulai
mengurus KTP, SIM, Surat Keterangan Kelakuan Baik, membayar PBB sampai Sertifikat
Tanah—adalah pekerjaan yang menjengkelkan karena para administratur di tingkat paling bawah
tidak punya otoritas untuk memutuskan segala sesuatunya sehingga mereka diam-diam
menciptakan “aturan-aturan baru yang tidak tertulis” yang memungkinkan munculnya para
perantara (broker, calo, makelar) untuk mempermudah hubungan dengan mereka.
V.
Peran Organisasi Publik
Saya sepakat dengan Amartya Sen yang mengatakan bahwa pembangunan tidak identik
dengan peningkatan pertumbuhan, modernisasi, industrialiasi, pekembangan teknologi, bahkan
GNP dan pendapatan per kapita. Kata Sen, pembangunan adalah proses untuk mengembangkan
kemerdekaan bagi manusia. Hanya, bila Sen mengedepankan tatanan ekonomi, sosial, politik,
dan hak-hak asasi manusia
20
, saya cenderung mengedepankan manajemen. Karena manajemen
adalah proses. Dalam mencapai tujuan, jika prosesnya benar, maka 50% dari tujuan sudah ada di
tangan. Jika dalam mencapai tujuan kita tidak memiliki proses yang baik, maka peluang untuk
berhasil jauh di bawah itu.
Dalam kaitan ini saya meletakkan manajemen dalam konteks bahwa yang perlu menjadi
fokus adalah penataan organisasi, khususnya organisasi publik yang tidak-bisa-tidak adalah juga
organisasi politik. Dalam kaitan ini saya sepakat dengan para pakar politik yang selalu
mengatakan bahwa pembangunan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari konteks politik –lepas dari
arogansi akademiknya sebagai pembelajar politik. Sebagaimana dikatakan oleh Bruno S. Frey,
19
George Binney and Collin Williams, Learning Into the Future: Changing the Way People Change Organizations, London:
Nicholas Brealey, 1996.
20
Amartya Sen, Development as Freedom, New York: Anchor Book, 1999.
Page 12
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 12
bahwa the economy and polity of a country are closely linked. Economic development depends on
political factors, and economic factors have a strong influence on political decission.
21
Dalam amatan saya, hubungan politik dan ekonomi tidak sekedar apa yang dikemukakan
Frey –dan sejumlah pakar administrasi publik lainnya-- karena tidak sebuah barang dan jasa
yang diperlukan oleh publik dapat disediakan oleh pasar, sehingga perlu peran pemerintah untuk
menciptakan produk untuk memenuhi kebutuhan tersebut, namun jauh lebih penting dari itu
peran sektor politik adalah menentukan “politik pembangunan” yang menjadi guidance bagi
keseluruhan proses pembangunan –termasuk ekonomi. Jadi, kebijakan ekonomi ditentukan oleh
sikap politik dari pemerintah. Demikian juga halnya dengan pembangunan di Indonesia. Jadi,
yang menjadi titik awal dari pembenahan adalah organisasi publik. Memang, tantangan masa
depan adalah membawa Indonesia menjadi the competitive nation. Jika Kenichi Ohmae
mengatakan bahwa tantangan di masa depan adalah bahwa keberadaan pemerintahan akan
menyulitkan globalisasi –sebab “mengganggu” the borderless world
22
—maka saya lebih setuju
dengan tantangan yang utama bagi organisasi pemerintahan atau publik seperti dilukiskan oleh
Michael Porter, bahwa “in a world of increasingly global competition, nations have become
more, not less, important. As the basis of competition has shifted more and more to the criteria
and assimilation of knowledge, the whole of nation has grown.
23
Apa yang dikemukakan Porter mendasari fakta bahwa dalam masyarakat berbasiskan
pengetahuan
24
, maka kompetisi akan terjadi tidak lagi antar manusia atau antar negara-bangsa,
namun antara organisasi-organisasi di setiap negara dengan organisasi-organisasi di negara lain.
25
Jadi ada tiga kelompok yang harus kompetitif: pemerintahan, dunia usaha, dan masyarakat. Atau
organisasi publik, organisasi bisnis, dan organisasi nir-laba. Dalam konfigurasi ketiganya, maka
organisasi publik memegang peranan terpenting sebagai pengatur kebijakan dari ketiga organisasi
tersebut.
Pembenahan organisasi (atau administrasi) publik menjadi mengedepan, karena sejak
lama ia dikebelakangkan. Seperti tesis Agus Dwiyanto, bahwa “berbagai masalah dalam
pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap, dan akuntabel sebagian disebabkan oleh
orientasi yang berlebihan terhadap pembangunan ekonomi dan mengabaikan reformasi
adminstrasi dan politik. Pembangunan ekonomi yang kurang diikuti oleh reformasi administrasi
dan politik ternyata justru melahirkanmu berbagai patologi birokrasi, seperti partik kolusi dan
korupsi yang menghambat terbentuknya pemerintahan yang bersih.”
26
Lebih jauh, yang menjadi permasalahan dalam organisasi publik –khususnya dibanding
dengan organisasi bisnis-- adalah incompetence. Salah satu penyebab kuncinya dikatakn oleh Hal
G. Rainey, bahwa this scepticism about government implies that there are sharp differences
between government and privately managed organizations…they contend that the elaborate body
21
Bruno S. Frey, Modern Political Economy, New York: John Willey and Sons, 1978, h.3.
22
Lihat Kenichi Ohmae, The End of the Nation State: The Rise of Regional Economies-How Capital, Corporations, Consumer,
and Communication are Reshaping Global Markets, New York: Free Press, 1995.
23
On Competition, Boston: Harvard Business Review, 1998, h. 155.
24
Konsep ini dikembangkan dari pemikiran Drucker yang secara mendalam dikupas dalam The Post Capitalist Society, Oxford:
Butterworth & Heinemman, 1993.
25
Gary Hamel hanya mengatakan bahwa global kompetisi hanya terjadi antar korporasi –“I don’t see (global) competitions as
competition between nation states. I see it as competition between firms. Hamel, op.cit.
26
Agus Dwiyanto, “Pemerintah Yang Efisien, Tanggap, Dan Akuntabel: Kontrol Atau Etika?”, JKAP, Volume 1, Nomor 2, Juli
1997, h. 3.
Page 13
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 13
of knowledge we have on management and organizations pays to little attention to the public
sector.”
27
Jadi, problemnya adalah, perkembangan keilmuan manajemen dan organisasi kurang
memberikan perhatian yang memadai untuk organsasi publik. Dapat difahami, karena organisasi
bisnis memberikan return yang lebih besar terhadap keilmuan tersebut dibanding organisasi
publik. Karenanya, organisasi bisnis menjadi lebih berkembang dan lebih competence dalam
menanggapi permasalahan yang dihadapi daripada organisasi publik. Di sini, menjadi bijak untuk
menerima usulan dari Robert B. Buchele, bahwa “business and government managers have a
great deal to learn not about one another but also from one another.”
28
Dari sini dikedepankan pemecahan melalui sisi manajemen, dan bukan politis –meski
pada tingkat tertentu akan menyentuh sisi politik juga. Pendekatan manajemen tersebut
menganjurkan kepada organisasi publik untuk melakukan strategi yang sama di organisasi bisnis,
yakni reinventing organisasi publik. Reinventing organisasi publik menjadi prasyarat pertama
bagi revitalisasi –pemulihan dan back on track, kemudian go ahead—Indonesia. Revitalisasi
organisasi publik ditata melalui tiga langkah manajerial yang bergerak secara berurutan, yakni :
reorientasi, restrukturisasi, dan aliansi.
29
Prasyarat kedua adalah menyusun the map for the future,
yang merupakan paradigma baru pembangunan Indonesia dalam lingkungan kompetisi global, di
mana pemain utamanya tetap organisasi publik.
VI.
Penutup
Konsep kunci dari paradigma pembangunan Indonesia baru adalah pertama,
pemberdayaan dengan mengakomodasi dua kepentingan yang dualistik, yakni produktivitas dan
demokrasi. Kedua menyusun visi-misi-strategi-dan-aksi. Ketiga menyusun skema pelaksanaan
pembangunan nasional dalam tatanan yang lebih adaptif terhadap perubahan yaitu pola “V”
terbalik. Keempat memahami bahwa pembangunan adalah sebuah perjalanan tanpa akhir, atau
dalam bahasa Soedjatmoko, sebagai sebuah pembelajaran, belajar untuk menyesuaikan diri
dengan kondisi yang lebih baik dari hari kemarin
30
. Kelima, semangat dan keyakinan bahwa
masa depan yang lebih baik pasti dapat dicapai melalui kebersamaan, cita keadilan, dan rasa
persaudaraan.
27
Hal G. Rainey, Understanding and Managing Public Organizations, San Francisco: Jossey-Bass, 1997, h. 3.
28
Robert B. Buchele, The Management of Business and Public Organizations, Tokyo: McGraw Hill, 1977, h. xiii.
29
Lihat “Bab 1. Reinventing Organisasi Publik” dalam buku ini.
30
Menjelajah Cakrawala: Kumpulan Karya Visioner, disunting oleh Kathleen Newland dan Kemala Candrakirana Soedjatmoko,
Jakarta: Gramedia-Yayasan Soedjatmoko, 1994, h.50.
Page 14
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 14
Daftar Pustaka
Agus Dwiyanto, Pemerintah Yang Efisien, Tanggap, Dan Akuntabel: Kontrol Atau Etika?,
JKAP, Volume 1, Nomor 2, Juli 1997.
Amartya Sen, Development as Freedom, New York: Anchor Book, 1999.
Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: Gramedia, 1996.
Bruno S. Frey, Modern Political Economy, New York: John Willey and Sons, 1978, h.3.
Ed Oakley dan Doug Krug, Enlightened Leadership: Getting to the Heart of Change, New
York: Simon & Schuster, 1991.
George Binney dan Collin Williams, Learning Into the Future: Changing the Way People
Change Organizations, London: Nicholas Brealey, 1996.
Hal G. Rainey, Understanding and Managing Public Organizations, San Francisco: Jossey-
Bass, 1997.
John Ibister, Promises not Kept: The Betrayal of Social Change in the Third World,
Connecticut: Kumarian Press, 1993.
Kathleen Newland dan Kemala Candrakirana Soedjatmoko (penyuting), Menjelajah
Cakrawala: Kumpulan Karya Visioner, Jakarta: Gramedia-Yayasan Soedjatmoko,1994.
Kenichi Ohmae, The End of the Nation State: The Rise of Regional Economies-How Capital,
Corporations, Consumer, and Communication are Reshaping Global Markets, New York:
Free Press, 1995.
Lester C. Thurow, Zero Sum Solution, New York: Touchstone, 1985.
Moelyarto T., Politik Pembangunan: Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi,
Yogjakarta: Tiara Wacana, 1995 (cetakan ketiga).
Peter F. Drucker, The Post Capitalist Society, Oxford: Butterworth & Heinemman, 1993.
Riant Nugroho Dwidjowijoto, Organisasi Publik Masa Depan, Jakarta: Perpod, 2000.
Robert B. Buchele, The Management of Business and Public Organizations, Tokyo: McGraw
Hill, 1977.
Robert Waterman, Renewal Factor, New York: Free Press, 1994.
Page 15
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 15
Rosabeth Moss Kanter, The World Class: Thriving Locally into Globally, New York: Free
Press, 1996.
Sandiwan Suharto, dkk, Dari Meja Tanri Abeng, Managing atau Chaos: Tantangan
Globalisasi dan Ketidakpastian, Jakarta: Sinar Harapan, 2000.
Sastrapreja, dkk. Menguak Mitos-Mitos Pembangunan: Telaah Etis dan Kritis, Jakarta :
Gramedia, 1986.
Sritua Arief, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, Jakarta: Cides, 1998.
Thomas J. Peters dan Robert H. Waterman Jr., In Search of Excellence: Lessons from
America’s Best-Run Companies, New York: Harper & Row, 1982.
Warren Bennis, On Becoming A Leader, Ontario: Addison-Wesley, 1994.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar