Minggu, 29 Maret 2009

SKENARIO E-GOVERNMENT PADA 1020

SKENARIO E-GOVERNMENT PADA 1020
DAN IMPLIKASINYA UNTUK DESAIN STRATEGI

OLEH :
GEORG AICHOLZER
INSTITUTE OF TECHNOLOGY ASSESSMENT
AUSTRIAN ACADEMY OF SCIENCE, WINA , AUSTRIA

ABSTRAK
Kontribusi ini difokuskan pada e-Gov sebagai program perubahan komprehensif dan scenario alternative sampai 2010. bukti empiric dari operasi dan implementasi e-gov yang berhasil tanpa melihat resiko inovasi jangka panjang. Tulisan ini mengeksplorasi metoda menggunakan instrument yang telah ada untuk meningkatkan strategi pengambilan keputusan dalam kontek perubahan, ketidak pastian dan kompleksitas lingkungan. Hal ini diterapkan dalam proyek penelitian di seantero Eropa kedalam tiga scenario makro dengan implikasi divergen untuk prospek e-gov. kesimpulannya dengan menerapkan persyaratan yang lebih kuat untuk mengembangkan strategi e-gov secara lebih luas menggunakan proses scenario.
Kata kunci : e-gov, resiko, masa depan, metode scenario, Eropa.

1. PENDAHHULUAN
Pemerintah di seluruh dunia telah mempunyai tujuan yang besar dan menjalankan program-program keuangan dengan volume yang cukup untuk implementasi layanan elektronik di sektor publik. Komisi Eropa merangsang dan memperkuat program ini dengan inisiatif inovasi e-gov yang terkait dengan studi bench marking (CGEY : 2004). Mengukur kemajuan dalam e-Government secara luas dipraktikkan dan digunakan sebagai instrumen kunci untuk memotivasi usaha implementasi melalui kompetisi. Hal ini sangat mengherankan karena istilah e-gov menjadi istilah yang sangat luas dipakai termasuk dalam modernisasi administrasi publik (Lenk : 2002).
Kualitas dan biaya pelayanan publik dan administrasi publik mempunyai isu penting : setiap warga negara dan organisasi formal mempunyai siklus kehidupannya sendiri. Kualitas layanan publik akan berakibat pada kualitas hidup, aktivitas bisnis, dan legetimasi politik.; pilihan regulasi sudah disesuaikan dengan penggunaan internet untuk keperluan diri sendiri atau untuk bisnis. kualitas layanan diperhitungkan seperti meningkatnya secara signifikan dalam hal penetapan lokasi bisnis. Biaya dan efisiensi layanan publik dan administrasi publik menjadi kunci dalam reformasi sektor publik dengan menekankan untuk mereduksi defisit fiskal dan untuk mengkonsolidasi budget publik.
Penerapan e-gov dan transformasi siklus layanan (Prins 2001), dengan kerangka kebijakan strategik, yang dapat digunakan sebagai pengarah dan landasan hidup zaherí-hari. Tulisan ini mengeksplorasi bagaimana sebuah metode skenario dapat digunakan untuk menghadapi ketidak pastian dan perkembangan e-gov dimasa mendatang.

2. RESIKO INOVASI DAN KEBERLANJUTAN STRATEGI E-GOV.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa e-gov telah menjadi tujuan inovatif dari pemerintah di seluruh dunia (misalnya TNS 2003; Ronaghan 2002). Praktis pelaksanaannya melibatkan investasi yang besar baik sumberdaya manusia, teknologi dan manajemen. Mereka dapat melakukan penetrasi sampai ke proses administrasi, struktur dan layanan. Strategi inovasi ini ternyata menghadapi tantangan yang besar yang menyangkut ketidak pastian, terutama kurangnya perhatian terhadap kesinambungan strategi e-gov. Keberhasilan implementasi dan operasi proyek e-gov bergantung pada beberapa faktor yaitu orang, teknologi, organisasi, dana, legalitas dan kerangka politik. Secara umum ada korelasi antara resiko dengan inovasi yang kompleks, tapi RAENG dan BCS (2004: p4) mencatat : ” ... pentingnya manajemen resiko adalah ketidak tahuan.”
Contoh masalah pelaksanaan, keterlambatan dan kegagalan di bidang e-Government dapat ditemukan di hampir semua negara (cf. Heeks 1999: pp. 50-58). Di Jerman, misalnya, kegagalan untuk membuat sebuah satelit berbasis sistem tanpa hambatan yang seharusnya telah menjadi operasi sebagaimana direncanakan pada bulan Agustus 2003 telah menyebabkan bencana nasional, karena negara kehilangan USD 156 - 180 juta per bulan (Expatica 2004). Di Inggris, ada daftar kasus masalah : misalnya Pathway, keuntungan sosial-skema pembayaran kartu, dilaporkan telah "roboh setelah tiga tahun, menghabiskan ₤ 300m. Badan sistem dukungan anak ₤ 200m Kini diharapkan untuk memulai ... satu tahun terlambat dan ₤ 50m di atas anggaran. Pada tahun 1999, masalah dengan Paspor dengan sistem komputer baru menyebabkan kekacauan untuk beribu wisatawan. Ia akhirnya diluncurkan ... dan tiga tahun terlambat "(Economist 2002: pp. 37-38). Hal lain cukai langsung dan cukai dari membayar PPN beralih ke online, menimbulkan masalah pada sekitar November 2002. Di Austria, implementasi dari kartu asuransi elektronik di dalam sistem kesehatan telah tertunda selama beberapa tahun. Setelah kegagalan yang tersu menerus dari sebuah konsorsium internasional untuk menyediakan layanan e-card, maka Federasi Asuransi Sosial akhirnya dibatalkan kontraknya pada musim semi 2003 setelah dua tahun dan baru mulai tender (Hauptverband 2003).
Penyebab kegagalan yang berlipat ganda dan berbagai masalah teknis untuk menjaga hubungan pelanggan. Namun, topik utama kita di sini adalah risiko dari kesinambungan struktur e-Government. Dalam melihat investasi yang besar dan berdampak pada perubahan pelayanan publik, adalah penting untuk mengambil yang lebih perspektif jangka panjang. Saat ini sinyal menunjukkan, bahwa perhatian lebih harus dibayar untuk hal-hal yang menyebabkan kejelasan. Misalnya jumlah antara akses Internet dan penggunaan layanan e-Government: "Meskipun hampir dua pertiga Britons yang memiliki akses internet, kurang dari satu dalam tiga telah dikunjungi bahkan salah satu dari 3000 pemerintah dan dewan website. Dan hanya 5% dari pengguna internet mengatakan mereka secara teratur menggunakan pemerintah untuk mengakses situs pelayanan publik ", dilaporkan di Inggris baru-baru ini studi yang dilakukan oleh Hedra, sebuah perusahaan konsultan besar di Inggris khusus dalam organisasi pemerintah.. Tidak heran bahwa laporan memperingatkan dari bahaya untuk menciptakan "online milenium domes hanya dengan beberapa pengunjung" (tempest 2002: p.10). Seperti yang dibuktikan dalam survei oleh TNS (2003), Oleh karena itu, dianjurkan untuk mengantisipasi risiko tentang kesinambungan e-Government sejauh mungkin seawal pengembangan strategi untuk implementasi, dan untuk mencari kemungkinan untuk mengurangi resiko-resiko. Pesimisme pada saat ini atau optimis berlebihan dilihat dari kondisi umum yang membahayakan kesinambungan strategi apapun. Kegagalan untuk mengidentifikasi potensi perubahan dalam lingkungan e-Government, kerusakan strategis kebijakan. E-Government, seperti organisasi atau proyek, yang berhadapan dengan kompleksitas perubahan eksternal yang menciptakan ketidakpastian mengenai masa depan lingkungan dan kondisi umum. Apa yang diperlukan dalam situasi ini adalah peningkatan kemampuan untuk mencari dan mengantisipasi jika tidak mungkin mengendalikan masa depan yang berdampak pada perkembangan struktur e-Government dan adaptasi yang sesuai strategi e-Government. Instrumen yang didirikan untuk meningkatkan keputusan strategis dalam konteks perubahan, ketidakpastian dan kompleksitas adalah metode skenario (van der Heijden et al. 2002: pp. 142).
3. SKENARIO DALAM PERENCANAAN E-GOVERNMENT
Skenario analisis dan skenario perencanaan yang berkembang menjadi beragam formulir dan aplikasi selama 50 tahun (van Notten dkk. 2003). Meskipun keragaman skenario metode, elemen inti yang umum adalah untuk mencari kemungkinan pembangunan jalan dan masuk akal, biasanya alternatif gambar masa depan. Skenario alternatif, yaitu gambar dan cerita yang menggambarkan berbagai negara di masa mendatang, tantangan dapat familier baris pemikiran dan asumsi, untuk pertanyaan yang ekstrapolasi umum kondisi yang ada di masa depan, dan untuk membuka pandangan terhadap kemungkinan alternatif dan perkembangan tidak terduga. Hal ini akan memungkinkan para pengambil keputusan untuk mempertajam perhatian mereka ke faktor kritis dan untuk mengambil keputusan yang lebih baik untuk menyiapkan masa depan yang pasti. Pada prinsipnya suatu skenario yang portrays "kemungkinan masa depan" yang kemudian dapat digunakan untuk menilai mengenai strategi yang berkelanjutan. An ultimate Tujuannya adalah untuk mempromosikan desain strategi yang lebih kuat, yakni yang sesuai dengan berbagai skenario masa depan.
Sementara skenario perencanaan yang banyak digunakan di berbagai sektor dan disiplin (van Notten dkk. Meneliti sekitar 70 skenario studi), aplikasi di bidang e-Government sering kurang. J kasus perencanaan skenario sistematis dalam e-Government telah menjadi proyek di tingkat regional di UK: Northshire Council dalam kerjasama dengan organisasi bekerja telekomunikasi yang difasilitasi skenario pendekatan dan dijabarkan empat skenario alternatif e-Government untuk garis waktu dari 2001 ke arah 2006 (van der Heijden et al. 2002: pp. 190). Hasil dan hasil perdebatan memberitahu strategis e-Government keputusan dan tindakan operasional dari pemerintah daerah dalam Northshire demi yang lebih bersemangat, terintegrasi dan perspektif jangka panjang. Contoh menarik lain adalah pengembangan dari empat skenario "web memungkinkan pemerintah perubahan" dengan Dunleavy dan Margetts (2002). Mereka terutama dibedakan oleh taraf perubahan dan hubungan ke New Public Management (NPM), yang mengarah ke kemungkinan skenario berlabel 'NPM Digital', 'Digital State Paradigm', 'Kebijakan berantakan' dan 'Negara Residualization', masing-masing. Skenario Mei pendekatan berbeda dalam banyak hal bahkan dalam dimensi dasar mereka, seperti proyek tujuan (eksplorasi vs dukungan keputusan, deskriptif vs normatif), proses desain (intuitif vs formal), isi skenario (kompleks vs sederhana) dan karakteristik (van Notten dkk. 2003: pp. 426). Endogenous dan perkembangan exogenous memainkan peran penting dalam proses skenario bangunan. Umum pendekatan struktur dan menjelajahi lingkungan eksternal yang dikenal dengan STEEP analisa - analisa sosial, Teknologi, Ekonomi, dan Politik Ecological variabel (van der Heijden et al. 2002: pp. 156). Apakah hasil skenario mewakili keinginan masa depan atau tidak dikehendaki, dalam hal apapun itu harus memenuhi kriteria tertentu:
Salah satu contoh terakhir dari penggunaan suatu skenario pendekatan di bidang e-Government merupakan proyek riset Eropa PRISMA (Penyediaan layanan inovatif model dan penilaian). Didanai oleh Komisi Eropa dari tindakan di baris 5. IST di dalam Kerangka Program dan selesai pada musim semi 2003, contoh ini bertujuan untuk meningkatkan saat ini baik terhadap strategi lebih kuat, yang berorientasi masa depan (lihat juga http://www.prisma- eu.net /). Hal ini memungkinkan untuk melihat lebih rinci proses dan hasil yang akan membantu untuk menilai nilai strategis dari pendekatan skenario. "Harus masuk akal, tetapi tidak harus mungkin. Memang, mengingat ketidakpastian masa depan, ia harus secara eksplisit menyatakan bahwa skenario bukanlah suatu ramalan, tetapi hanya sebuah kemungkinan, karena kemungkinan banyak kemungkinan lainnya.

4. SKENARIO PEMBANGUNAN DI PROYEK RISET EROPA PRISMA
Proses Skenario ini terjadi pada tahun 2002 dan berurusan - antara lain - dengan masa depan e-Government ke arah cakrawala 2010. pendekatan STEEP yang digunakan untuk menganalisa keseluruhan kontekstual lingkungan e-Government di Eropa dalam dua tahap proses (Tabel 1):

Table 1: Structure of the scenario process in PRISMA

Stage 1:
Macro-scenarios for 2010
Stage 2:
Implications for e-Government strategies
Actors
PRISMA scenario team
Scenario team plus external experts
Input
Approx. 100 trends in five categories (STEEP)
3 macro-scenarios developed in stage 1
Output
3 alternative macro-scenarios:
(1) “A prosperous and more just Europe”
(2) “A turbulent world”
(3) “Recession and reorientation”
SWOT analysis of current good practice
Expected implications for e-Government
Design requirements in favour of more robust strategies

Dalam tahap pertama skenario-tim mengidentifikasi pengaruh faktor dan tren di sepanjang dimensi STEEP yang dapat memainkan peran utama untuk merancang masa depan dan pengiriman layanan e-Government. Hampir 100 variabel dinilai mengenai dampak, tingkat kepastian, controllability dan penting untuk Eropa. Dari analisis ini empat skenario telah ditentukan dimensi: ekonomi / masyarakat, pemerintahan, teknologi informasi dan kelestarian lingkungan. Delapan skenario mungkin dianggap untuk pembangunan dengan karakteristik yang berbeda dalam dimensi sebelum menetapkan tiga terpilih sebagai cukup dibedakan dan diatur lebih lanjut langkah-langkah untuk analisis. Semua tiga skenario yang independen, internal koheren kontekstual makro-skenario e-Government yang dijabarkan dan dicap sebagai berikut: (1) "yang lebih makmur dan Eropa", (2) "A bergolak dunia", (3) "recession dan re-orientation ". Dalam tahap kedua, implikasi ini makro-skenario untuk layanan e-Government yang dianalisis dalam lokakarya dengan ahli-ahli eksternal (delapan orang dari seluruh Eropa, yang dipilih untuk kedua mata pelajaran bidang ICT dan keahlian, dikelola oleh tim skenario). Persyaratan yang ditentukan para ahli untuk masa depan berorientasi pada layanan e-Government oleh analisa saat ini baik terhadap masing-masing model skenario melalui sebuah analisis SWOT (kekuatan / kelemahan - kesempatan / ancaman). Variable bebas dan variable bergantung dari unsur-unsur yang akan diidentifikasi. Kedua pantas untuk dibawa ke dalam strategi pembangunan untuk meningkatkan kesinambungan strategi e-Government.

4,1 Makro-skenario untuk e-Government di 2010
Grafik presentasi dari dasar profil menyediakan pertama yang tiga skenario alternatif-makro (Gambar 1). Skenario yang diwakili oleh profil polygons berbagai bentuk, dilantik oleh nilai yang berbeda pada setiap dari empat dimensi dasar yang plotted sepanjang berkoordinasi setengah axes (ekonomi / masyarakat; pemerintahan; teknologi informasi; kelestarian lingkungan). Dengan simbol + dan - berlawanan menunjukkan tingkat tiang atau variabel-variabel, tetapi seharusnya tidak diinterpretasikan normatively. Positif tiang berada kelihatan, kutub negatif terhadap pusat (untuk alasan teknis visibilitas dari satu unit mematikan asal). J penjelasan singkat cara membaca nilai dari empat dimensi pokok:
Ekonomi / masyarakat:
+ Makmur integrative sosial ekonomi dan iklim
0 ekonomi, sosial dan politik stagnasi
- Negatif umum iklim ekonomi dan sosial ( 'Euro-depression')

Pemerintahan: + Tingginya sentralistik bentrokan antara pemerintah dan swasta
0 hubungan seimbang antara pemerintah dan swasta
- Jatuh selain dari pusat pemerintahan, desentralisasi pemerintahan

Teknologi informasi:
+ Dinamis kemajuan inovasi TI
- Lambat dari inovasi TI

Kelestarian lingkungan:
+ Tinggi untuk mendukung kelestarian lingkungan
- Rendah / tidak ada dukungan bagi kelestarian lingkungan

Tiga skenario makro alternatif portrayals mewakili kemungkinan kontekstual kondisi e-Government di Eropa. Berikut adalah beberapa garis besar dengan implikasi e-Government.
Mereka tidak dapat dilakukan dengan penuh keadilan elaborate disediakan dalam versi Aichholzer dkk. (2002), tetapi harus menyampaikan karakteristik utama.

4,2 IMPLIKASI DARI SKENARIO ALTERNATIF UNTUK E-GOVERNMENT
4.2.1 Skenario 1: "A lebih makmur dan Eropa"
Dalam hal ini bukan utopis, meskipun paling diidamkan semua skenario, Eropa mengalami kemajuan ekonomi yang hampir di semua segmen masyarakat berpartisipasi. Hukum Moore masih berlaku dan terus ICT kontribusi bagi kesejahteraan dan pembangunan berkelanjutan di Eropa.
Pada umumnya iklim positif masyarakat sangat buka-hati terhadap teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dan percaya pada standar keamanan dan perlindungan data. Kesejahteraan umum telah memungkinkan sebagian besar dari penghapusan digital divide sehingga besar mayoritas pengguna Internet memiliki akses ke beragam berbagai layanan elektronik. Investasi dalam perpanjangan pada skala grand, akses internet dari rumah dan akses publik poin menjamin pasokan berbagai layanan e-Government hampir seluruh Eropa. Modernisasi dan digitalisation administrasi publik telah membawa layanan online yang dapat diakses dengan mudah, berkualitas tinggi dan penuh kepercayaan. Portal Internet mengintegrasikan layanan bagi warga negara sesuai dengan aktivitas kehidupan yang relevan (misalnya kelahiran, perkawinan, bekerja) dan usaha bersama untuk aktivitas bisnis utama (misalnya pembentukan perusahaan, kontrak kerja). Diubah layanan menanggapi setiap kebutuhan pengguna dan penyediaan beberapa saluran akses ke pelayanan publik meluas individu pilihan. Manusia baru agen menawarkan dukungan kepada pengguna layanan e-Government. Integrasi vertikal dan horizontal dari belakang kantor adalah prioritas tinggi untuk administrasi publik dan meningkatkan kualitas layanan bagi warga negara dan bisnis. Bahkan di bawah kondisi yang umumnya baik untuk e-Government beberapa elemen ketidakpastian dan kekhawatiran tetap, misalnya tentang politik apathy, sentralisasi layanan melalui jaringan sangat terpadu dan privatisasi layanan dasar
4.2.2 Skenario 2: "A bergolak dunia"
Dalam skenario ini pertumbuhan ekonomi tidak berkelanjutan. Dalam menanggapi ada regu kuat terhadap pemerintah pusat arah, sementara pada saat yang sama kekuatan pasar sektor swasta sangat meningkat. Dua pasukan sering parah dalam konflik. Teknologi informasi yang terus tumbuh, tetapi hal untuk kesinambungan hilang dalam kombinasi ekonomi dan konflik kegembiraan.
Sektor swasta meluas dan berbagai macam layanan dan elektronik semakin mengambil alih tugas dari sektor publik. Administrasi oleh aparat adalah rationalised "Lean administrasi" dan "manajemen publik baru", downsized, modernised dengan e-Government proyek, termasuk meningkatkan aksesibilitas informasi untuk sektor publik. Namun, besar biaya tetap mendapatkan tingkat kualitas layanan mewakili beban keuangan dan menetapkan batas yang jelas. Kepercayaan dari warga negara di Eropa teknis diberikan sistem keamanan internasional dan standar-standar dan privasi adalah perhatian publik. Fragmentasi masyarakat penetrates semua spheres kehidupan dan juga memiliki dampak negatif pada akses dan penggunaan ICT: The digital divide meningkat daripada dikurangi. Pembatasan keuangan dan keahlian defisit mencegah bagian besar dari populasi menggunakan selain sederhana e-Government layanan, misalnya mengakses informasi. Hanya sebagian kecil dari segmen ini memiliki akses ke layanan transaksi lebih kompleks atau tanda tangan elektronik. Kaya kelas menengah dan atas orang yg bertemu di suatu keuntungan dari teknologi canggih dan inovasi layanan yang ditawarkan. Mereka melakukan kontak administratif mereka sepenuhnya online dan menikmati keuntungan pribadi dan layanan premium. (Sepertinya sebagai efektif jika kebijakan ke counter yang kuat terhadap kekuatan yang sedemikian parah membagi masih hilang).
4.2.3 Skenario 3: "resesi dan reorientation"
Pada ketiga skenario Eropa adalah bertahap pemulihan ekonomi dari krisis parah yang berpuncak runcing sekitar bagian tengah dekade. Pengalaman menyebabkan orang untuk memberontak terhadap teknologi, pemerintah dan pasar demi desentralisasi, environmentalism dan de-globalisasi. Pada dasarnya, skenario yang menganggap lambat pembangunan ekonomi, yang lebih kecil dan desentralisasi peran pemerintah, yang lambat pengembangan ICT, tapi yang semakin lingkungan pembangunan berkelanjutan. Negara anggota Uni Eropa telah membuat kemajuan dalam konsolidasi mereka tercapai dan anggaran biaya melalui tabungan rationalisation di sektor publik lebih dekat dan kerjasama dengan pihak swasta. Di banyak negara, privatisasi dan outsourcing fungsi publik yang telah membuat "lean administrasi". J masalah serius bagi warga negara adalah kurangnya transparansi pemerintah. Industri IT menderita lebih dari kurangnya investasi pemerintah. Pada saat yang sama dinamika teknologi yang mengalami banyak kemunduran. (Recent indikasi bahwa mengatasi masalah panas yang dihasilkan oleh komputer pernah cepat keripik yang mungkin tekan 'teknis dinding' ini muncul bahkan lebih mungkin hal ini dapat tantangan yang terus validitas hukum Moore). Kemajuan dalam interaksi dengan komputer juga terhambat oleh kendala yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang semakin meningkat dan berbelok ke gaya hidup yang nikmat interaksi pribadi, bukan komunikasi elektronik. Kebanyakan dari semua, ada alasan khusus mengapa warga melihat aplikasi TI dengan memutuskan kecurigaan: Manifest skandal sekitar penyalahgunaan data pribadi oleh instansi pemerintah maupun perusahaan swasta telah mengakibatkan hilangnya kepercayaan radikal di e-layanan. Warga negara dan perusahaan-perusahaan kecil tidak memiliki pengetahuan dan sumber daya secara efektif untuk mengamankan data. Hasilnya adalah bahwa banyak menghindari menggunakan e-layanan. Terutama lanjutan transaksi layanan e-Government memerlukan otentikasi atau diubah layanan kehilangan daya tarik. Di sisi lain rendahnya nilai tambah dari layanan informasi sederhana banyak mengarah ke penurunan tajam dalam penggunaannya. Keamanan data menjadi isu penting di tingkat Uni Eropa. Kepercayaan masyarakat lebih memilih untuk LSM yang berurusan dengan privasi, teknologi, masalah-masalah demokrasi dan partisipasi. Dalam jaringan e-layanan yang berperan: Konsultasi dan partisipasi LSM dalam proses pengambilan keputusan semakin dilakukan secara online. Buka pertanyaan yang lebih mungkin implikasi untuk penggunaan komunikasi online oleh gerakan sosial dan politik aktivis skenario di bawah ini.

5. PELAJARAN UNTUK DESAIN YANG LEBIH KUAT STRATEGI E-GOVERNMENT
Implikasi dari setiap skenario untuk kesesuaian saat ini baik dalam konsep e-Government elaborately telah dibahas dalam lokakarya dengan ahli eksternal dan diteliti oleh sebuah alat analisis SWOT. Latihan ini tampak pada kekuatan dan kelemahan yang besar baik dari hari ini dan prinsip-prinsip yang diselenggarakan mereka terhadap peluang dan ancaman yang terkait dengan masing-masing skenario. Salah satu hasil adalah untuk mendapatkan sejumlah strategi desain yang dapat dianggap sebagai "Publik akses poin di kantor agen, perpustakaan, sekolah, pemuda dan lain-lain adalah pusat budaya yang kuat di semua unsur skenario. Mereka memenuhi fungsi sosial penting. Sektor usaha juga keuntungan dari pelayanan publik dapat diakses elektronik pilihan: Online transaksi di situ digunakan untuk lebih fleksibel dan efisien untuk layanan pelanggan dan agen, misalnya pariwisata dalam aplikasi. Diantara kasus-kasus baik sistem elektronik kios yang ada di Sheffield dan Bremen, sedangkan pengalaman yang negatif di Antwerp karena kekurangan organisasi. Apa yang penting adalah dukungan dari lingkungan dan kesempatan belajar seperti yang ditawarkan di perpustakaan. kurang lebih kuat di berbagai skenario:

5,1 Pengguna kelompok sasaran dan berorientasi desain
Salah satu elemen desain dasar menjadi prioritas adalah permintaan dan centeredness pengguna. Keputusan pada prioritas individu layanan khusus aspek ini, yakni tentang jenis, luas dan kedalaman layanan online untuk dikembangkan. Itu berarti investasi di instrumen seperti permintaan identifikasi, partisipasi pengguna dan pakan kembali, analisis frekuensi dan volume penggunaan layanan, kualitas kontrol dan biaya / manfaat-perhitungan. Contoh pendekatan dan praktik dapat ditemukan khususnya di Kanada, sedangkan peran mereka dalam berbagai dokumen strategi sering dibatasi hanya untuk retorika fungsi. Hal ini digarisbawahi, e.g. kritik yang dikemukakan oleh Kantor Audit di Amerika Serikat kurangnya warga-centeredness dalam berbagai inisiatif (GAO 2002: hal 2). E-Government layanan juga harus mengambil rekening khusus kebutuhan dari berbagai kelompok pengguna. Namun, kecuali untuk sektor usaha di mana layanan harus disesuaikan sesuai bidang masing-masing (misalnya industri pariwisata vs perusahaan), yang luasnya individualisation dan keinginan telah dinilai sebagai skenario tergantung kebutuhan dan oleh karena itu hati-hati definisi dalam praktek. Aspek lain adalah keramahan optimisation pengguna layanan e-oleh kegunaan alat tes, standardisasi dan desain pedoman (gaya panduan). Baik adalah contoh kasus, e-Wina, Bremen Online tunggal atau layanan seperti Dana Keluarga di Inggris atau Clermont-Ferrand layanan akte kelahiran di Prancis.

5,2 Multi-saluran layanan
Pasti akan perlu untuk menawarkan alternatif bentuk interaksi dengan pemerintah di masa mendatang, walaupun ada kenaikan pribadi akses internet. Dalam sebuah studi Bavarian hampir 80% pilihan formulir ini, namun proporsi yang tinggi untuk memilih saluran termasuk pergantian panggilan pusat, kios elektronik, serta surat tradisional pribadi dan kontak (Accenture, 2002: p. 11). Survei di British TV digital dan perpustakaan setempat bersama cybercafés disertakan di antara pilihan akses saluran

5,3 Peningkatan kualitas layanan dan efisiensi melalui reorganisation Mengintegrasikan layanan e-Government dalam bentuk one-stop service dan portal merupakan kunci karakteristik layanan yang inovatif. Besar keuntungan yang lebih sederhana, lebih fleksibel dan menghemat waktu akses dan layanan bagi pengguna. Mereka juga mendukung pemerintah dan transparansi - terutama dalam kombinasi dengan fasilitas pelacakan - administrasi publik. Struktur menawarkan layanan pengguna menurut perspektif kontras ke dalam kriteria administratif adalah prinsip yang terkait. Baik dengan kasus ini menunjukkan "peristiwa kehidupan" atau "aktivitas bisnis" sebagai kriteria organisasi. Seperti meningkatkan kualitas layanan di "depan kantor" biasanya memerlukan banyak proses redesign dan reorganisation dari "belakang kantor". Hal ini terutama terjadi ketika datang ke penerapan one-stop layanan portal online yang memungkinkan untuk menyelesaikan transaksi, akhirnya di berbagai tingkat .
5,4 kesimpulan Sosial
A. sosial non-eksklusif pasokan e-layanan yang terkait erat dengan kelompok sasaran orientasi dan multi-saluran akses. Layanan dasar umum kepentingan harus dapat diakses dalam bentuk yang sederhana dan terjangkau. Untuk alasan ini, e-Government strategi harus menyertakan unsur-unsur yang menghindari penciptaan atau divisi perpetuation sosial sebagai konsekuensi dari teknologi. Dirugikan dalam kelompok-kelompok masyarakat memerlukan perhatian khusus dan dukungan tentang akses dan penggunaan layanan e-Government.
The "desain untuk semua" prinsipnya layanan multi bahasa dan insentif khusus seperti kelompok dukungan yang mungkin berarti yang melayani tujuan ini. Pentingnya digarisbawahi oleh sebuah studi di Amerika Serikat yang mengamati meningkat lebih tinggi pada layanan premium dan peringatan dari biaya pembuatan "kelas dua" bagi masyarakat pengguna e-Government (West 2002: p. 13).

5,5 Keamanan, privasi dan kepercayaan
Dalam tiga skenario yang penuh kepercayaan penanganan masalah-masalah yang berhubungan dengan data dan privasi warga dan memutar bisnis yang signifikan jika tidak peran sentral. Gagasan yang kepercayaan kekhawatiran beberapa aspek kunci dari data dan informasi: ketersediaan, integritas, keaslian, kerahasiaan, non-contestability (terakhir ini adalah sangat penting untuk hukum dan aplikasi komersial). Meningkatkan keamanan, privasi dan kepercayaan pantas prioritas utama dalam e-Government strategi dan upaya yang harus menyertakan berbagai ukuran besar dan prinsip-prinsip, seperti pengumpulan dan penggunaan batasan, tujuan spesifikasi, perlindungan keamanan, akuntabilitas, mendorong penggunaan teknologi dan meningkatkan privasi kualitas sertifikat. Contoh-contoh yang positif privasi ketentuan di Kanada atau kualitas stempel untuk layanan e-Government seperti diperkenalkan di Indonesia (lihat http://www.cio.gv.at/service/brochures/IPIII_ Guetesiegel_final.pdf).
6. KESIMPULAN
Makalah ini difokuskan pada kesinambungan struktur e-Government dan penerapan skenario analisis dalam mendukung tujuan ini. Ini menunjukkan bahwa perencanaan skenario dapat meningkatkan kesadaran dan ketidakpastian masa depan berbeda dari bingkai referensi dalam sistimatika yang terfokus . Skenario proses merangsang keterlibatan aktif dengan masalah-masalah jangka panjang dan kesinambungan penilaian ini strategi alternatif terhadap masa depan. Pembangunan beberapa skenario memungkinkan untuk alat uji yang baik pada saat ini dan pilihan kebijakan. Strategi mereka, prinsip-prinsip dan praktek dari berbagai skenario secara luas dapat dipandang sebagai lebih baik daripada pilihan yang hanya sesuai skenario tertentu.

References
Accenture (2002) Was-will-der-Bürger.de: Online-Angebot und -Nachfrage im öffentlichen Sektor. Eine Bedarfsanalyse von Accenture in Zusammenarbeit mit der Bayerischen Staatskanzlei, [Online], Available: http://www.bayern.de/Wirtschaftsstandort/eGovernment/Was-will-der-Buerger.pdf [29 May 2004].
Aichholzer, G., Winkler, R. and PRISMA project partners (2002) Report on pan-European scenario-building. PRISMA – Providing Innovative Service Models and Assessment, Vienna: Institute of Technology Assessment, Austrian Academy of Sciences.
‘Berlin's highway toll deal collapses’, Expatica – news & information source for expatriats (17 February 2004), [Online], Available: http://www.expatica.com/source/site_article.asp?channel_id=3&story_id=4751 [29 May 2004].
CAP GEMINI ERNST & YOUNG (CGEY) (2004) Online Availability of Public Services: How is Europe Progressing? Web Based Survey on Electronic Public Services. Report of the Fourth Measurement. October 2003, by order of the European Commission, [Online], Available: http://europa.eu.int/information_society/eeurope/2005/doc/highlights/whats_new/capgemini4.pdf [29 May 2004].
Dunleavy, P. and Margetts, H. (2000) ‘The advent of digital government: Public bureaucracies and the state in the Internet age’, Paper to the Annual Conference of the American Political Science Association, 4 September 2000, Omni Shoreham Hotel, Washington, [Online], Available: http://www.governmentontheweb.co.uk/downloads/papers/APSA_2000.pdf
General Accounting Office (GAO) (2002) Electronic Government: Selection and Implementation of the Office of Management and Budget's 24 Initiatives; United States General Accounting Office, [Online], Available: http://frwebgate.access.gpo.gov/cgi-bin/useftp.cgi?IPaddress=162.140.64.21&filename=d03229.pdf&directory=/diskb/wais/data/gao [29 May 2004].
Hauptverband (2003) Presseinformationen über die SV-Chipkarte (e-card) [Online], Available: http://www.e-card.or.at/ [January 2004].
Heeks, R. and Bhatnagar, S. (1999) 'Understanding success and failure in information age reform', in Heeks, R. (ed.) Reinventing Government in the Information Age – International Practice in IT-enabled Public Sector Reform, London and New York: Routledge, pp. 49-74.
Lenk, K. (2002) 'Electronic service delivery as a driver of public sector modernisation', Information Polity, vol. 7, pp. 87-96.
Prins, J. E. J. (ed.) (2001) Designing E-Government: On the Crossroads of Technological Innovation and Institutional Change, The Hague, London, Boston: Kluwer Law International.
RAENG and BCS (The Royal Academy of Engineering and The British Computer Society) (2004) The Challenges of Complex IT Projects, London: The Royal Academy of Engineering, [Online], Available: http://www.raeng.org.uk/news/attach/215.pdf.
Ronaghan, S. A. (2002) Benchmarking E-Government: A Global Perspective. Assessing the Progress of the UN Member States, New York: United Nations Division for Public Economics and Public Administration/American Society for Public Administration, [Online], Available: http://www.unpan.org/egovernment2.asp#survey [29 May 2004].
Tempest, M. (2002) ‘Official websites leave public cold’, Guardian, 30 December, p. 10.
‘The health service's IT problem’, Economist (17 October 2002), pp. 37-38.
TNS (Taylor Nelson Sofres) (2003) Government Online: An international perspective 2003 - Global summary, [Online], Available: http://www.tns-global.com/corporate/Doc/0/JF206RCSIND4H7QIOVKUGST011/21451_Global+Report_Final.ppt [29 May 2004].
van der Heijden, K., Bradfield, R., Burt, G., Cairns, G. and Wright, G. (2002) The Sixth Sense. Accelerating Organizational Learning with Scenarios, Chichester: John Wiley & Sons.
van Notten, P. W. F., Rotmans, J., van Asselt, M. B. A. and Rothman, D. S. (2003) 'An updated scenario typology', Futures, vol. 35, No. 5, pp. 423-443.
West, D. M. (2002) State and Federal E-Government in the United States. Providence, RI: Brown University, [online], Available: http://www.insidepolitics.org/egovt02us.PDF [2 June 2004].

Rabu, 11 Maret 2009

പരടിഗ്മ വ TERBALIK

Paradigma Pembangunan “V” Terbalik
Riant Nugroho Dwidjowijoto
*
I.
Prakata
Pemerintah hari ini cenderung mempergunakan pendekatan politik untuk menyelesaikan
masalah. Paling jauh, mempergunakan pendekatan ekonomi. Menurut saya, pendekatan ini tidak memadai lagi. Antara politik dan ekonomi, memiliki satu kesamaan. Keduanya adalah alat ukur yang relatif bersifat subyektif, yakni tergantung kepada siapa yang mempergunakan pendekatan tersebut. Dalam hemat saya, pendekatan yang lebih tepat dipergunakan dalam menyusun konsep pembangunan Indonesia baru adalah pendekatan manajemen.
Manajemen di sini bermakna lebih luas daripada sekedar manajemen perusahaan atau
pemerintahan. Manajemen adalah sebuah paradigma; sebuah filosofi hidup. Manajemen adalah bagaimana kita menata kehidupan yang lebih baik, tertata, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pendekatan manajemen menuntut apa yang sekarang populer dengan istilah good governance,
atau pengelolaan yang baik. Pendekatan manajemen, meski tidak bisa melepaskan secara total
dari subyektivitas, namun relatif lebih obyektif dibanding pendekatan-pendekatan lain. Karena
manajemen selalu melihat dari aset yang ada, dan mencari solusi untuk mengoptimalkan aset
yang ada agar memberikan hasil yang maksimal. Pendekatan baru ini pada akhirnya akan
memberikan kontribusi kepada pergeseran dari prinsip-prinsip organisasi publik di Indonesia.
Bagi negara berkembang melakukan pembangunan –apalagi dalam era globalisasi--
bukan pekerjaan yang mudah. Tambah lagi tatkala pembangunan bukan lagi sekadar strategi,
melainkan telah menjadi ideologi bagi setiap negara baru –negara-negara yang rata-rata merdeka setelah Perang Dunia Kedua usai. Kemajuan dan kemakmuran negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Utara membuat “air liur” negara-negara berkembang mengalir keluar, dan membuat semangat mengejar ketertinggalan tidak lagi menjadi semangat, melainkan menjadi obsesi.
Pembangunan menjadi ideologi, agama, bahkan kemudian menjadi mitos.
Sebuah keyakinan bahwa pembangunan pada akhirnya membuat negara-negara terbelakang mampu mengejar ketertinggalannya, dan menjadi setara dengan negara yang maju. Padahal, sebagian besar perjalanan pembangunan negara-negara tersebut berujung kepada dead-end
;akhir yang mematikan alias gang buntu.
II.
Paradigma Pembangunan
*
Riant Nugroho adalah Chairman RBI Research, konsultan manajemen untuk sektor privat dan publik. Beberapa buku yang
pernah ditulisnya adalah Manajemen Dalam Era Globalisasi (1996), Indonesia 2020 (1997), Indonesia State Owned
Enterprises: Professionalism to Go Global (1997), Otonomi Daerah: Desentralisasi Tanpa Revolusi (2000), dan Can He
Managed? Perception and Criticism on Abdurrahman Wahid (2001)-red.
1
Sastrapreja, dkk dengan baik menyunting tulisan tentang bagaimana pembangunan akhirnya menjadi mitos bagi negara-
negara penganutnya dalam Menguak Mitos-Mitos Pembangunan: Telaah Etis dan Kritis, Jakarta : Gramedia, 1986.
2
John Ibister, Promises not Kept: The Betrayal of Social Change in the Third World, khususnya Bab 3, Explanations of
Underdevelopments, Connecticut: Kumarian Press, 1993, h. 33-65.
Page 2
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 2
Paradigma-paradigma pembangunan yang disusun oleh para teoritisi dan perencanaan
pembangunan tidak bisa dipungkiri lebih berputar kepada pendekatan teoritis dan keilmuan
daripada sebuah kajian konseptual yang lebih mengacu kepada praktek. Pendekatan
pembangunan mulai yang diwarnai oleh pendekatan ekonomi --sejak dedengkot pemikir klasik
seperti Adam Smith yang mengajarkan tentang pasar dengan “invisible hand”nya, David Ricardo dengan perdagangan bebas antar negara dengan keunggulan komparatif, disusul Karl Marx dengan “ekonomi terpimpin”nya, hingga John Maynard Keyness yang mengusulkan perpaduan antara kebebasan dan pengaturan oleh pemerintah, atau yang lebih kotemporer seperti teoriTarikan Besar (Big Push) hingga Pertumbuhan Seimbang (Balanced Growth)
3
— maupun pendekatan politik –kulturalis, yakni yang percaya bahwa kemajuan bisa diperoleh dengan injeksi nilai-nilai maju (biasanya mengacu kepada nilai di negara maju sendiri) ataupun yang strukturalis, yakni yang percaya bahwa hanya perubahan secara struktural yang bisa membuat negara berkembang menjadi maju karena yang terjadi adalah struktur yang tidak benar, bukan nilai yang tidak benar
4
-- pada amatan saya pada akhirnya merupakan akumulasi pendekatan yang
saling melengkapi, dan tidak perlu saling dipertentangkan. Akan tetapi, pendekatan-pendekatan tersebut di dalam pengembangannya dalam kebijakan pembangunan cenderung bersifat sektarian, atau sangat menonjolkan salah satu dan mengabaikan yang lain. Pendekatan ini sangat khas ilmuwan. Seorang ilmuwan selalu memiliki kecongkaan untuk menerapkan pendekatan yang dikuasainya meski tidak bersifat komprehensif untuk mendapatkan pengakuan bahwa pemikiran tersebut memang unggul. Pendekatan ini cukup berbeda dengan pendekatan manajemen yang lebih bersifat memadukan seluruh pendekatan yang ada, menyusun dalam tatanan praktek dengan berusaha membuatnya tidak tumpah tindih. Pendekatan ini khas praktisi yang pembelajar –seorang yang hanya praktisi tapi tanpa pembelajaran bukan “manajer” melainkan “dukun”.
Pendekatan manajemen dalam amatan saya lebih mampu mendekati permasalahan dan
menemukan solusi yang bersifat win-win –pendekatan ekonomi dan politik biasanya lebih
bersifat “zero sum game
5
”. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh empu manajemen, Peter F Drucker, bahwa only management and management alone that can create values and therefore economicprosperity.
6
Alasannya dapat difahami dalam rincian sebagai berikut:
Seperti dikemukakan sebelumnya, masyarakat modern adalah masyarakat yang telah
berubah dari masyarakat paguyuban menjadi masyarakat organisasi. Melalui organisasi
masyarakat mengembangkan kompetensi dan keunggulannya untuk bersaing dengan organisasi lain di dalam negara dan antar negara, dan pada akhirnya kompetisi antar negara bukan terjadi antar negara itu sendiri, melainkan antar organisasi di dalam negara, yaitu organisasi publik, organisasi bisnis, dan organisasi nir-laba. Meski pada akhirnya, dengan menguatnya kompetisi bisnis di dalam kompetisi global mendorong organisasi bisnis sebagai ujung tombak persaingan
3
Kajian yang komprehensif adalah Moelyarto T., Politik Pembangunan: Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi,
Yogjakarta: Tiara Wacana, 1995 (cetakan ketiga), dan Sritua Arief, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, Jakarta: Cides,
1998.
4
Lihat Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: Gramedia, 1996.
5
Lihat Lester C. Thurow, Zero Sum Solution, New York: Touchstone, 1985. Thurow menunjukkan bahwa keunggulan bangsa
Amerika karena bangsa ini memilih “Zero Sum Solution”. Dalam permainan harus ada yang menang dan ada yang kalah.
Yang penting profesional dan fair. Tetapi, itu standar dan kompetensi dari Amerika yang dipaksakan untuk seluruh dunia,
termasuk negara berkembang. Lihat bab 3: “Tantangan Global: The Pentagon Trap”.
6
Pernyataan yang demikian puitis ini keluar dalam diskusi yang diselenggarakan oleh para CEO BUMN pada pertengahan
bulan Juli 1999 di New York bersama Peter F Drucker. Pernyataan ini dikutip antara lain oleh Sandiwan Suharto, dkk, dalam
Dari Meja Tanri Abeng, Managing atau Chaos: Tantangan Globalisasi dan Ketidakpastian, Jakarta: Sinar Harapan, 2000,
h.94.
Page 3
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 3
global. Hanya manajemen yang memampukan organisasi membentuk dirinya sebagai
“organisasi” (bukan hanya sekedar “gerombolan orang-orang”) dan kemudian mengkreasikan
nilai yang memberikan manfaat kepada masyarakat.
Pendekatan manajemen dimulai dengan menyusun Visi, disusul Misi, Strategi, dan Aksi
pembangunan. Visi adalah arah ke mana kita hendak pergi. Visi pembangunan Indonesia adalah sebuah negara yang berisi rakyat yang makmur, mandiri, berdasarkan Pancasila dan UUD 45 –artinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, dan Keadilan. Misi, adalah alasan keberadaan kita sebagai bangsa, atau raison d’être. Misi pembangunan Indonesia adalah sebagai sebuah negara-bangsa yang merdeka, bersatu, dan berdaulat, di dalam kerangka kehidupan bersama umat manusia di dunia. Visi dan Misi pembangunan Indonesia harus sama bagi setiap organisasi dan masyarakat, namun aspirasinya dapat berlainan sesuai dengan tempat dan kondisi masing-masing.
Strategi adalah “cara” untuk mencapai tujuan. Pada era Orde Baru strategi pembangunan
bertumpu kepada pengejaran efisiensi daripada partisipasi. Seperti dicatat oleh Mochtar Mas’ud
7
saat itu perencanaan pembangunan –atau pemerintah—dihadapkan kepada dua pilihan strategi
pembangunan yang dilematis: prioritas produktivitas atau prioritas demokrasi. Kedua bersifat
“zero sum game”, artinya jika yang satu dipilih yang satunya harus dipinggirkan. Pemerintah
memilih produktivitas dengan keyakinan demokrasi akan tercapai dengan sendirinya tatkala
produktivitas menghasilkan tingkat kemakmuran tertentu bagi rakyat –seperti Jepang, Korea
Selatan dan Singapura. Namun, strategi tersebut terbukti gagal total. Pembangunan yang
menekan partisipasi dan demokrasi bukan hanya menyebabkan implosi (ledakan ke dalam)
namun juga eksplosi (ledakan keluar). Akibat riilnya adalah krisis yang berlangsung sejak 1997 yang disusul dengan jatuhnya rejim Orde Baru.
Namun, bukan berarti dengan demikian yang tersedia adalah pilihan demokrasi atau
partisipasi. Karena produktivitas tetap nomor satu, semenjak produktivitas adalah modal dasar
pertumbuhan; semenjak kredo dunia hari ini adalah the only sign of life is growth, and the only
sign of growth is speed –kalau anda tidak mau hidup ya jangan tumbuh, dan kalau mau tumbuh harus cepat; semenjak globalisasi mendesakkan fakta bahwa there is only two thing left in the world: the quick and the dead –jika ingin hidup kita harus serba-cepat. Namun, partisipasi adalah harga yang sulit untuk ditawar, karena itu bagaimanapun harus diambil. Karena itu strategi pembangunan yang paling akomodatif adalah pemberdayaan. Istilah ini sebenarnya lebih tepat diasal-katakan dengan “energizing” bukannya “empowering”, karena yang dikedepankan adalah memberi daya dan bukan berbagi kekuasaan, sebab kekuasaan itu sendiri akan melekat di setiap mereka yang memiliki daya atau energi.
III.
Pemberdayaan Organisasi
Pemberdayaan dilakukan di tiga organisasi dalam negara, yaitu organisasi publik,
organisasi bisnis, dan organisasi nirlaba. Klarifiksinya dimulai dari sejauh mana organisasi-
organisasi tersebut telah dikelola dengan baik sehingga memberikan nilai bagi kustomernya.
Untuk itu perlu dikaji sejauh mana organisasi publik sudah melakukan pelayanan publik secara
7
Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999 (cetakan ketiga) khususnya Bab 1. Agenda Kerja
Politik Pembangunan, dan Bab 2. Ekonomi-Politik Pemberdayaan Rakyat.
Page 4
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 4
efisien
8
; sejauh mana organisasi bisnis kita memberikan produk barang dan jasa yang efisien; dan
sejauh mana organisasi nirlaba memberikan kontribusinya secara efisien. Dalam amatan saya
kinerja organisasi-organisasi publik, bisnis, dan nirlaba kita masih rendah. Organisasi
pemerintahan kita cenderung untuk memberikan pelayanan yang mahal kepada publik dengan
fakta berupa menjamurnya praktek kolusi-korupsi-nepotisme yang membuktikan bahwa publik
tidak mampu mengakses pelayanan dengan cara normal
9
. Organisasi bisnis yang terdiri dari tiga
kelompok –BUMN, Swasta, Koperasi—juga belum nampak dikelola dengan baik. Return on
investment BUMN kita secara rata-rata diperkirakan masih di bawah 5% (pada tahun 1990-1996
hanya tercatat 2,75% saja, meski ada peningkatan kinerja di bawah Meneg BUMN tahun
1998/1999 namun karena krisis maka sejumlah BUMN justru terpuruk, khusus perbankan,
konstruksi, penerbangan, dan kelistrikan), padahal badan-badan usaha yang sehat memiliki ROA
sebesar 20%. Swasta nasional kita, khususnya konglomerat, ibarat masih berada di Ruang Gawat
Darurat, dengan menyisakan beban pinjaman yang sulit terbayarkan senilai US $ 70 milyar plus
kredit macet yang berada dalam perbankan nasional yang sedang direkapitalisasi dengan nilai
lebih dari Rp 600 trilyun. Koperasi karena sekian lama diterbelakangkan akhirnya hanya menjadi
pelaku usaha berskala kecil yang sulit dikedepankan sebagai aktor dalam persaingan global,
belum lagi faktor koperasi juga kurang dikelola dengan baik karena sebagian besar sumberdaya
berkualitas memilih untuk masuk ke perusahaan swasta dan BUMN daripada ke koperasi. Dalam
hal organisasi nirlaba yang terjadi adalah sebagian besar dari organisasi ini justru cenderung
berlaku sebagai “lawan” organisasi publik dan organisasi bisnis. Khususnya nirlaba di sektor
sosial-politik. Agenda kerja mereka lebih menampakkan kegiatan untuk mentorpedo kebijakan
publik dan bisnis. Keberadaannya organisasi nirlaba justru mempersulit pembangunan secara
umum.
Jadi masalah krusial di dalam ketiga organisasi kita tersebut sama persis: undermanage.
Undermanage dalam organisasi berakibat dalam negara. Seperti istilah di Amerika Latin yang
dikutip oleh Drucker, there is no underdeveloped country, there is only undermanaged country
10
.
Kenapa bisa undermanaged? Karena tidak diberdayakan. Organisasi publik selama republik ini
berdiri diposisikan untuk melayani kekuasaan daripada kustomernya, yakni rakyat. Demikian
juga organisasi bisnis. Sebagian organisasi nirlaba melayani kekuasaan, dan sebagian lagi
melayani kepentingan non-Indonesia. Strategi pembangunan pemberdayaan adalah meletakkan
organisasi publik sesuai tugas-pokok-dan-fungsinya, dan demikian pula dengan kedua organisasi
yang lain. Jadi, “binatang politik di kandang politik”, “binatang ekonomi di kandang ekonomi”,
dan “binatang sosial di kandang sosial”. Strategi ini pernah dicoba dalam restrukturisasi BUMN
periode 1998-1999, di mana terjadi lonjakan kinerja yang luar biasa dari sisi manusia, organisasi,
kepemimpinan, bahkan finansialnya –dari 1997 ke 1998 terdapat lonjakan pendapatan sebesar
155,2%, laba usaha 207%, dan laba setelah pajak 194,1%.
11
Strategi yang bersifat makro tersebut dijabarkan dalam strategi mikro yang bersifat aksi,
seperti yang dikemukakan di atas, yakni setiap organisasi harus menjalani proses “reinventing”
atau penemuan diri, dengan melalui tiga penahapan. Pertama, reorientasi, menemukan di mana
8
Efisien tidak hanya berlaku untuk kecepatan waktu, namun juga menjangkau kualitas, kuantitas, biaya, keterjangkauan, dan
pelayanan purna yang diberikannya.
9
Riant Nugroho Dwidjowijoto, Organisasi Publik Masa Depan, Jakarta: Perpod, 2000.
10
Management: Task, Responsibilities, Practices, New York: Harper & Row, 1974. Sayang pepatah ini tidak muncul lagi
dalam buku edisi revisinya (1995).
11
Kantor Menteri Negara BUMN, 1999.
Page 5
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 5
kondisi saat ini, apa yang masih tersisa, dan hendak ke mana tujuan organisasi. Kedua,
restrukturisasi, menata ulang seluruh rancang bangun organisasi dan nilai agar sesuai dengan
tujuan yang hendak dicapai serta kondisi riil dan potensial yang dimiliki. Ketiga, aliansi, yakni
menyetarakan dan menyamakan langkah antar organisasi, baik di dalam sektornya maupun lintas
sektor. Meski harus pula disadari bahwa strategi bukanlah satu-satunya jawaban untuk
membangun kinerja, seperti yang ditunjukkan oleh McKinsey dalam kerangka kerja 7-S pada
Gambar 1
12
.
12
Thomas J. Peters and Robert H. Waterman Jr., In Search of Excellence: Lessons from America’s Best-Run Companies, New
York: Harper & Row, 1982, h. 10.
Page 6
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 6
Gambar 1
Kerangka “7-s” MacKinsey
Jadi, tantangan ke depan menjadi semakin rumit, karena setelah memiliki strategi yang
handal, kita memerlukan struktur yang memungkinkan strategi itu diimplementasikan, sistem
yang akomodatif, gaya kepemimpinan yang pas, ketrampilan yang memadai, sumberdaya
manusia yang berkualitas, plus –yang terpenting—kesamaan nilai. Namun bukan berarti tidak
mungkin diatasi. Ketujuh unsur tersebut perlu direduksi untuk meningkatkan fokus kerja menjadi
tiga, yaitu manusia, organisasi, dan sistim nilai. Guna mencapai keunggulan negara-bangsa
melalui pembangunan berstrategi pemberdayaan, maka diperlukan, pertama manusia Indonesia
dengan daya saing global –kompetensi, konsep, network
13
, kedua, organisasi Indonesia dengan
daya saing global –publik (tingkat pusat/nasional hingga desa/kalurahan), bisnis (BUMN,
Swasta, Koperasi), nirlaba (politik, sosial), dan ketiga, sistem nilai Indonesia dengan daya saing
global yang tidak saja mengadopsi dari mancanegara namun juga yang menjadi bagian dari nilai
dasar bangsa –Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ikka.
13
Konsep ini dipopulerkan oleh Rosabeth Moss Kanter sebagai CCC, yakni competence, concept, and connectedness. Lihat
Rosabeth Moss Kanter, The World Class: Thriving Locally into Globally, New York: Free Press, 1996.
Shared
Values
System
Structure
Strategy
Skill
Style
Staff
Page 7
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 7
IV.
Paradigma “V” Terbalik
Dari sini kita memasuki tahap praktikal penyelenggaraaan pembangunan negara
berbasiskan pendekatan manajemen. Penyelenggaraan pertama adalah menata pembangunan
sebagai sebuah sekuensi yang konsisten dan berkesinambungan dari (1) perencanaan; (2)
pengorganisasian; (3) pelaksanaan; (4) kepemimpinan; dan (5) evaluasi.
Untuk menyelengarakannya diperlukan konsistensi. Faktor konsistensi ini mutlak diperlukan
untuk menjaga agar rancangan yang sudah tepat tidak mengalami bias dalam praktek. Konsistensi
perlu diimbangi dengan disiplin untuk berinovasi. Pembangunan pemberdayaan memberi peluang
kepada setiap pelaku pembangunan untuk melakukan modifikasi aksi pembangunan sesuai
dengan kondisi dan tantangan setempat. Inovasi
14
menjadi sangat penting karena merupakan satu-
satunya cara agar perencanaan yang sangat strategis tersebut dapat memberikan hasil optimal
tanpa melakukan perombakan besar-besaran. Di dalam skenario yang lebih besar maka proses
pembangunan Indonesia dapat diskemakan dalam Gambar 2.
14
Inovasi bukan kreativitas. Inovasi didorong oleh keunggulan pengetahuan, kekayaan wawasan, dan kekuatan praktikal.
Kreativitas lebih condong ke arah “ trial and error”.
Page 8
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 8
Gambar 2.
Skenario Membangun Global Competitiveness Skema “V” Terbalik
Perjalanan pembangunan bangsa seperti sebuah perjalanan sekawanan angsa di angkasa
biru. Mereka tidak membetuk jajaran, namun membentuk formasi huruf “V” terbalik untuk
menjadikan posisi aerodinamisnya menjadi optimal. Posisi paling ujung adalah kepemimpinan
negara-bangsa, karena ia akan menentukan visi dan misi sebagai negara bangsa. Di jalan kedua adalah organisasi negara bangsa dan masyarakat negara bangsa. Organisasi negara bangsa merupakan bentuk keunggulan global dari setiap organisasi negara-bangsa, baik publik, bisnis, maupun nirlaba. Masyarakat negara bangsa mengacu kepada sejauh mana perkembangan kemajuan peradaban negara bangsa. Dalam bahasa politik kondisi ini disebut sebagai kondisi civil society, masyarakat madani, atau masyarakat mandiri. Di jajaran ketiga terdiri dari sistim nilai yang mendukung, yaitu nilai pro-kemajuan, disiplin inovasi, dan penguasaan akan ilmu pengetahuan dan managerial competence, dan sumberdaya negara bangsa yang terdiri dari sumberdaya natural dan non-natural sebagai sumberdaya riil dan fisikal untuk membangun.
Dalam skema ini nampak bahwa keunggulan pertama-tama merupakan tugas dari
kepemimpinan negara bangsa. Tantangan pertama-tama mengarah kepada Presiden, Wakil
Presiden, Ketua MPR, dan Ketua DPR. Sejauh mana keempat komponen tersebut mampu
membangun sinergi –meski porsi tugas utama berada di pundak Presiden. Saya hendak sedikit
mengembangkan diskusi di sini.
Secara khusus, dikatakan di atas, tantangan kepemimpinan terletak di pundak pemimpin
nasional, yang dalam konteks Indonesia adalah presiden. Ia secara faktural, stuktural, dan kultural berada dalam posisi sebagai “pemimpin”. Pemimpin, seperti konstanta guru kepemimpinan
Warren Bennis berbeda dengan “orang biasa”. Katanya, “They work out there on the frontier
where tomorrow is taking shape, and they serve here as guides –guides to things as they are and as they will be, or scouts reporting back with word from the front…”
15
Kepemimpinan, kata Bennis, sangatlah penting karena tiga hal. Pertama karena ialah yang
paling bertanggung jawab atas efektivitas organisasi. Kedua, sebagai jangkar dari organisasi.
15
Warren Bennis, On Becoming A Leader, Ontario: Addison-Wesley, 1994, h.5.
Nilai
Negara-Bangsa
Sumberdaya
Negara-Bangsa
Kepemimpinan
Negara Bangsa
Organisasi
Negara-Bangsa
Masyarakat
Negara-Bangsa
Page 9
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 9
Dan, ketiga pemimpin adalah bentuk paling nyata dari integritas organisasi.
16
Lebih jauh, tugas
utama seorang pemimpin ada dua. Pertama, bukan mengembangkan (develop) organisasi, namun
mengkreasikan nilai (value creation) bagi organisasi tersebut. Seorang pemimpin yang hanya
megembangkan value creation tersebut. Oakley dan Krug melukiskan dengan baik proses
tersebut dalam Gambar 3
17
.
16
Ibid, h.15
17
Ed Oakley and Doug Krug, Enlightened Leadership: Getting to the Heart of Change, New York: Simon & Schuster, 1991,
h. 35, 38, 39.
Page 10
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 10
Gambar 3.
Mempertahankan Keunggulan Menurut Oakley-Krug
Dari ketiga gambar tersebut nampak bahwa kepemimpinan yang unggul selalu
menciptakan “renewal factor”
18
yang menjadikan organisasi terus bertahan hidup dan
berkembang mengkreasikan nilai bagi masyarakat.
Hal lain, di Indonesia ada hal yang bersifat khas, bahwa kepemimpinan hari ini
mengarahkan perubahan dengan mengandalkan kepada pola perubahan yang “bottom-up” dengan
konsep “pemberdayaan”. Pembangunan diasumsikan sebagai gerakan yang berawal dan
diserahkan kepada rakyat –dan akhirnya kurang memberikan kewajiban kepada kepemimpinan.
Memang, perubahan yang hanya dari atas akan menghasilkan pretasi yang “bantat”, alias
“setengah matang”, para medioker di tingkat manusia dan organisasi yang “semi organisasi”
(atau setengah paguyuban dan setengah organisasi) di tingkat kelembagaan.Studi dari Binney dan
Williams menunjukkan bahwa organisasi yang berhasil melakukan perubahan adalah organisasi
yang melakukannya dengan memadukan pola “top-down” dengan “bottom up”. Jadi, di satu sisi
18
Istilah “Renewal Factor”dipopulerkan oleh Robert Waterman, Renewal Factor, New York: Free Press, 1994.
Page 11
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 11
berlangsung “leading change” (“top down”)atau kepemimpinan dalam perubahan dan di sisi lain
berjalan “learning” (“bottom-up”) atau pembelajaran.
19
Tantangan kedua adalah sejauh mana kepemimpinan membedayakan seluruh komponen
dibelakangnya, baik di jajaran pertama maupun kedua sehingga dapat membangun sebuah jajaran
yang optimal menghadapi tantangan. Di sinilah kata kunci “pemberdayaan” dalam konteks
pendelegasiaan kekuasaan (power) berlaku. Bagaimana pucuk jajaran (kepemimpinan) membagi
kewenangannya dengan jajaran di belakangnya sesuai dengan tugas-pokok-fungsi masing-
masing.
Pembagian kewenangan atau kekuasaan ini mengacu kepada dua hal sekaligus:
meningkatkan kinerja karena setiap bagian mengkontribusikan kompetensinya secara
proporsional di satu sisi, dan di sisi lain terjadi penurunan korupsi yang signifikan. Sebab dalil
dari Lord Acton tidak sempurna. Filsuf politik Inggris ini mengatakan bahwa power tend to
corrupt-absolute power corrupt absolutely. Kekuasaan cenderung korup-kekuasaan yang absolut
korupnya absolut pula. Sebaliknya, less-power tend to corrupt-less of power absolutely corrupt
absolutely. Kurang kekuasaan akan menghadirkan korupsi, dan kurangnya kekuasaan secara
absolut menghasilkan korupsi yang absolut pula. Seorang pegawai negeri yang menunggu tugas
dari pimpinannya akan cenderung mengkorupsi segala sesuatu di sekelilingnya. Semakin ia tidak
punya kekuasaan apa-apa, maka ia akan menciptakan “aturan-aturan baru” yang diterapkan
kepada kustomernya. Itulah sebabnya menghadapi birokrasi sipil sangat meletihkan –mulai
mengurus KTP, SIM, Surat Keterangan Kelakuan Baik, membayar PBB sampai Sertifikat
Tanah—adalah pekerjaan yang menjengkelkan karena para administratur di tingkat paling bawah
tidak punya otoritas untuk memutuskan segala sesuatunya sehingga mereka diam-diam
menciptakan “aturan-aturan baru yang tidak tertulis” yang memungkinkan munculnya para
perantara (broker, calo, makelar) untuk mempermudah hubungan dengan mereka.
V.
Peran Organisasi Publik
Saya sepakat dengan Amartya Sen yang mengatakan bahwa pembangunan tidak identik
dengan peningkatan pertumbuhan, modernisasi, industrialiasi, pekembangan teknologi, bahkan
GNP dan pendapatan per kapita. Kata Sen, pembangunan adalah proses untuk mengembangkan
kemerdekaan bagi manusia. Hanya, bila Sen mengedepankan tatanan ekonomi, sosial, politik,
dan hak-hak asasi manusia
20
, saya cenderung mengedepankan manajemen. Karena manajemen
adalah proses. Dalam mencapai tujuan, jika prosesnya benar, maka 50% dari tujuan sudah ada di
tangan. Jika dalam mencapai tujuan kita tidak memiliki proses yang baik, maka peluang untuk
berhasil jauh di bawah itu.
Dalam kaitan ini saya meletakkan manajemen dalam konteks bahwa yang perlu menjadi
fokus adalah penataan organisasi, khususnya organisasi publik yang tidak-bisa-tidak adalah juga
organisasi politik. Dalam kaitan ini saya sepakat dengan para pakar politik yang selalu
mengatakan bahwa pembangunan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari konteks politik –lepas dari
arogansi akademiknya sebagai pembelajar politik. Sebagaimana dikatakan oleh Bruno S. Frey,
19
George Binney and Collin Williams, Learning Into the Future: Changing the Way People Change Organizations, London:
Nicholas Brealey, 1996.
20
Amartya Sen, Development as Freedom, New York: Anchor Book, 1999.
Page 12
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 12
bahwa the economy and polity of a country are closely linked. Economic development depends on
political factors, and economic factors have a strong influence on political decission.
21
Dalam amatan saya, hubungan politik dan ekonomi tidak sekedar apa yang dikemukakan
Frey –dan sejumlah pakar administrasi publik lainnya-- karena tidak sebuah barang dan jasa
yang diperlukan oleh publik dapat disediakan oleh pasar, sehingga perlu peran pemerintah untuk
menciptakan produk untuk memenuhi kebutuhan tersebut, namun jauh lebih penting dari itu
peran sektor politik adalah menentukan “politik pembangunan” yang menjadi guidance bagi
keseluruhan proses pembangunan –termasuk ekonomi. Jadi, kebijakan ekonomi ditentukan oleh
sikap politik dari pemerintah. Demikian juga halnya dengan pembangunan di Indonesia. Jadi,
yang menjadi titik awal dari pembenahan adalah organisasi publik. Memang, tantangan masa
depan adalah membawa Indonesia menjadi the competitive nation. Jika Kenichi Ohmae
mengatakan bahwa tantangan di masa depan adalah bahwa keberadaan pemerintahan akan
menyulitkan globalisasi –sebab “mengganggu” the borderless world
22
—maka saya lebih setuju
dengan tantangan yang utama bagi organisasi pemerintahan atau publik seperti dilukiskan oleh
Michael Porter, bahwa “in a world of increasingly global competition, nations have become
more, not less, important. As the basis of competition has shifted more and more to the criteria
and assimilation of knowledge, the whole of nation has grown.
23
Apa yang dikemukakan Porter mendasari fakta bahwa dalam masyarakat berbasiskan
pengetahuan
24
, maka kompetisi akan terjadi tidak lagi antar manusia atau antar negara-bangsa,
namun antara organisasi-organisasi di setiap negara dengan organisasi-organisasi di negara lain.
25
Jadi ada tiga kelompok yang harus kompetitif: pemerintahan, dunia usaha, dan masyarakat. Atau
organisasi publik, organisasi bisnis, dan organisasi nir-laba. Dalam konfigurasi ketiganya, maka
organisasi publik memegang peranan terpenting sebagai pengatur kebijakan dari ketiga organisasi
tersebut.
Pembenahan organisasi (atau administrasi) publik menjadi mengedepan, karena sejak
lama ia dikebelakangkan. Seperti tesis Agus Dwiyanto, bahwa “berbagai masalah dalam
pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap, dan akuntabel sebagian disebabkan oleh
orientasi yang berlebihan terhadap pembangunan ekonomi dan mengabaikan reformasi
adminstrasi dan politik. Pembangunan ekonomi yang kurang diikuti oleh reformasi administrasi
dan politik ternyata justru melahirkanmu berbagai patologi birokrasi, seperti partik kolusi dan
korupsi yang menghambat terbentuknya pemerintahan yang bersih.”
26
Lebih jauh, yang menjadi permasalahan dalam organisasi publik –khususnya dibanding
dengan organisasi bisnis-- adalah incompetence. Salah satu penyebab kuncinya dikatakn oleh Hal
G. Rainey, bahwa this scepticism about government implies that there are sharp differences
between government and privately managed organizations…they contend that the elaborate body
21
Bruno S. Frey, Modern Political Economy, New York: John Willey and Sons, 1978, h.3.
22
Lihat Kenichi Ohmae, The End of the Nation State: The Rise of Regional Economies-How Capital, Corporations, Consumer,
and Communication are Reshaping Global Markets, New York: Free Press, 1995.
23
On Competition, Boston: Harvard Business Review, 1998, h. 155.
24
Konsep ini dikembangkan dari pemikiran Drucker yang secara mendalam dikupas dalam The Post Capitalist Society, Oxford:
Butterworth & Heinemman, 1993.
25
Gary Hamel hanya mengatakan bahwa global kompetisi hanya terjadi antar korporasi –“I don’t see (global) competitions as
competition between nation states. I see it as competition between firms. Hamel, op.cit.
26
Agus Dwiyanto, “Pemerintah Yang Efisien, Tanggap, Dan Akuntabel: Kontrol Atau Etika?”, JKAP, Volume 1, Nomor 2, Juli
1997, h. 3.
Page 13
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 13
of knowledge we have on management and organizations pays to little attention to the public
sector.”
27
Jadi, problemnya adalah, perkembangan keilmuan manajemen dan organisasi kurang
memberikan perhatian yang memadai untuk organsasi publik. Dapat difahami, karena organisasi
bisnis memberikan return yang lebih besar terhadap keilmuan tersebut dibanding organisasi
publik. Karenanya, organisasi bisnis menjadi lebih berkembang dan lebih competence dalam
menanggapi permasalahan yang dihadapi daripada organisasi publik. Di sini, menjadi bijak untuk
menerima usulan dari Robert B. Buchele, bahwa “business and government managers have a
great deal to learn not about one another but also from one another.”
28
Dari sini dikedepankan pemecahan melalui sisi manajemen, dan bukan politis –meski
pada tingkat tertentu akan menyentuh sisi politik juga. Pendekatan manajemen tersebut
menganjurkan kepada organisasi publik untuk melakukan strategi yang sama di organisasi bisnis,
yakni reinventing organisasi publik. Reinventing organisasi publik menjadi prasyarat pertama
bagi revitalisasi –pemulihan dan back on track, kemudian go ahead—Indonesia. Revitalisasi
organisasi publik ditata melalui tiga langkah manajerial yang bergerak secara berurutan, yakni :
reorientasi, restrukturisasi, dan aliansi.
29
Prasyarat kedua adalah menyusun the map for the future,
yang merupakan paradigma baru pembangunan Indonesia dalam lingkungan kompetisi global, di
mana pemain utamanya tetap organisasi publik.
VI.
Penutup
Konsep kunci dari paradigma pembangunan Indonesia baru adalah pertama,
pemberdayaan dengan mengakomodasi dua kepentingan yang dualistik, yakni produktivitas dan
demokrasi. Kedua menyusun visi-misi-strategi-dan-aksi. Ketiga menyusun skema pelaksanaan
pembangunan nasional dalam tatanan yang lebih adaptif terhadap perubahan yaitu pola “V”
terbalik. Keempat memahami bahwa pembangunan adalah sebuah perjalanan tanpa akhir, atau
dalam bahasa Soedjatmoko, sebagai sebuah pembelajaran, belajar untuk menyesuaikan diri
dengan kondisi yang lebih baik dari hari kemarin
30
. Kelima, semangat dan keyakinan bahwa
masa depan yang lebih baik pasti dapat dicapai melalui kebersamaan, cita keadilan, dan rasa
persaudaraan.
27
Hal G. Rainey, Understanding and Managing Public Organizations, San Francisco: Jossey-Bass, 1997, h. 3.
28
Robert B. Buchele, The Management of Business and Public Organizations, Tokyo: McGraw Hill, 1977, h. xiii.
29
Lihat “Bab 1. Reinventing Organisasi Publik” dalam buku ini.
30
Menjelajah Cakrawala: Kumpulan Karya Visioner, disunting oleh Kathleen Newland dan Kemala Candrakirana Soedjatmoko,
Jakarta: Gramedia-Yayasan Soedjatmoko, 1994, h.50.
Page 14
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 14
Daftar Pustaka
Agus Dwiyanto, Pemerintah Yang Efisien, Tanggap, Dan Akuntabel: Kontrol Atau Etika?,
JKAP, Volume 1, Nomor 2, Juli 1997.
Amartya Sen, Development as Freedom, New York: Anchor Book, 1999.
Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: Gramedia, 1996.
Bruno S. Frey, Modern Political Economy, New York: John Willey and Sons, 1978, h.3.
Ed Oakley dan Doug Krug, Enlightened Leadership: Getting to the Heart of Change, New
York: Simon & Schuster, 1991.
George Binney dan Collin Williams, Learning Into the Future: Changing the Way People
Change Organizations, London: Nicholas Brealey, 1996.
Hal G. Rainey, Understanding and Managing Public Organizations, San Francisco: Jossey-
Bass, 1997.
John Ibister, Promises not Kept: The Betrayal of Social Change in the Third World,
Connecticut: Kumarian Press, 1993.
Kathleen Newland dan Kemala Candrakirana Soedjatmoko (penyuting), Menjelajah
Cakrawala: Kumpulan Karya Visioner, Jakarta: Gramedia-Yayasan Soedjatmoko,1994.
Kenichi Ohmae, The End of the Nation State: The Rise of Regional Economies-How Capital,
Corporations, Consumer, and Communication are Reshaping Global Markets, New York:
Free Press, 1995.
Lester C. Thurow, Zero Sum Solution, New York: Touchstone, 1985.
Moelyarto T., Politik Pembangunan: Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi,
Yogjakarta: Tiara Wacana, 1995 (cetakan ketiga).
Peter F. Drucker, The Post Capitalist Society, Oxford: Butterworth & Heinemman, 1993.
Riant Nugroho Dwidjowijoto, Organisasi Publik Masa Depan, Jakarta: Perpod, 2000.
Robert B. Buchele, The Management of Business and Public Organizations, Tokyo: McGraw
Hill, 1977.
Robert Waterman, Renewal Factor, New York: Free Press, 1994.
Page 15
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Riant Nugroho.doc
# 15
Rosabeth Moss Kanter, The World Class: Thriving Locally into Globally, New York: Free
Press, 1996.
Sandiwan Suharto, dkk, Dari Meja Tanri Abeng, Managing atau Chaos: Tantangan
Globalisasi dan Ketidakpastian, Jakarta: Sinar Harapan, 2000.
Sastrapreja, dkk. Menguak Mitos-Mitos Pembangunan: Telaah Etis dan Kritis, Jakarta :
Gramedia, 1986.
Sritua Arief, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, Jakarta: Cides, 1998.
Thomas J. Peters dan Robert H. Waterman Jr., In Search of Excellence: Lessons from
America’s Best-Run Companies, New York: Harper & Row, 1982.
Warren Bennis, On Becoming A Leader, Ontario: Addison-Wesley, 1994.